Oleh Imran Makmur
Malam ini semesta menyanyikan irama sufistik, di balik cahaya rembulan yang bulat penuh, yang menabur cahayanya di hamparan permadani samudera.
Seorang perempuan bermandi cahaya bulan, disabuni buih dan riak air, selendangnya tergerai-gerai dilambai debur angin. Sambil menatap ke barat, lindap menatap sayuh sekarat, seolah menanti renggut bulan yang menggantung di atas pulau tektonik laut Tolitoli, pulau Lutungan. Menantikan seseorang yang dicintainya sejak empat purnama lalu. Lantas ia hanya mendapati dirinya sendiri dipeluk oleh dinginnya malam dan bias cahaya rembulan.
Masih terngiang jelas di hatinya, kala ia masih berdendang di antara degup cinta, dan pasangannya baru saja pulang dari rutinitas ruaya nokturnalnya di tengah laut, setelah merenggut isi samudera. Lalu dia tersenyum, menisik cinta kembali seperti tatkala mereka bermandi peluh di selisik pagi pertama dahulu.
Mae Silopuan:
Malatuang, di matamu ada bias sendu, kala aku ranum di cicipi selaksa rindu. Kapan dikau kembali dengan raut orange fajar dibias redup abu-abu, saat kau menyerahkanku beberapa cucuk layang dan cakalang, untuk kita santap di pertengahan hari yang rindang. Aku diringkus berpuluh-puluh belati, karena sejak kepergianmu, aku lupa berungkap terima kasih, karena kau telah hadiahkan persembahan mesra bagi benih yang telah meranum di dalam rahim, hasil peraduan di pagi syahdu kita saat kau menjamah kuncupku, lalu membias di awan sejuta kenikmatan tak terperi.
”Di mana kau, Malatuang?” perempuan itu berteriak histeris, setiap purnama. Warga desa yang telah penat, membiarkan saja perempuan itu seperti angin malam, terus menerus meratap-ratap, hingga fajar melelahkannya dan pada pagi ia pulang dengan hati yang mengering.
Ceruk tanah liat ini kau tuangi air hangat, lalu kau memandikan selaksa pesona anggun parasmu pagi ini, di sebuah gubuk kecil di ujung jauh selatan pantai. Di sinilah kita selalu bertemu, bertanya tentang kabar yang tak bosan-bosan kita tanyakan. Lalu kita saling melemparkan senyum, beradu pandang, malu-malu, tersipu-sipu. Dan gejolak asmara dibuai nafsu terus mengerang, mendesak krasak-krusuk. Tapi adat adalah tabir. Kau kucintai berdasarkan cinta yang kumiliki, berdasarkan gundah sesal suci dalam tabir putih. Aku hanya mencintaimu dengan sederhana. Tak ingin kubenamkan lelah dan peluh tetesan air yang mencuat dari kelaminku sebelum aku mengikatmu pada tali perkawinan indah dan diridhai. Meski kau terus menggelorakan gejolakku, namun aku biarkan debur ombak dan cadasnya tebing Labuan Lobo meredam syahwat itu. Karena ku tahu, adat itu bukanlah kebenaran, Mae. Sebab cinta tak semestinya melahirkan kenistaan. Aku menghargaimu sebagai dewiku, permaisuriku. Bukan sebagai benda yang harus kucicipi dahulu lalu kutinggalkan kau pergi tanpa kepastian.
Tapi kau merajuk, tersedat-sedat tak kuasa merindukan bimbang untuk ku tanam di tengah selangkangan putikmu. Ah, aku tak mampu, Mae. Tunggulah aku pulang membawa kepastian. Aku akan mengijabmu pada janur kuning, tapi tidak untuk bakulele itu.
”Sunting aku, jamah rinai keperawananku, Malatuang. Sudahi jelaga kabut pasang di antara samudera dan palung hatiku dan hatimu.” aku tersedak, teko itu menyeruak keluar, tumpah riuh mencaharkan lahar, lalu tenggelam di undakan pasir bersama riuh camar dan kuak bekantan di hutan mangrove. Tak hilang resahku, tak lepas risauku, kau lantas melepaskan selendang ungumu di hamparan di bawah kita, lalu kau berbaring menarikku. Pagi itu, kita akhiri gerimis rona lentik langit dan biru laut serta debur ombak di lantai cakrawala. Aku dan kau memadu selaksa ranah megah, mereguk berlian dan butir-butir mutiara di undakan pasir yang tak berbentuk lagi. Kita berakhir pada erangan dan luap rasa sesal teramat dalam.
”Maafkan aku Mae.” ku dekap tubuhnya, lalu kukecup keningnya. Ada getaran gemuruh cinta mengiringi kecupan itu, ada janji di bawah kaki langit yang ingin kupersembahkan sebelum aku beranjak dan berpijak. Lalu aku berlari menjauh, meninggalkannya terbata-bata di gubuk kecil di tengah hutan mangrove, yang kita bangun dengan irama cinta dan harmonisasi sufistik alam. Aku berlari tak lama, aku berlari untuk berpijak, aku berlari untuk melekukkan dunia dan kan kuhadiahi sebagai kalung mahar saat aku datang bergumam lantang, ”Aku datang menggenggam bara cinta yang dulu sempat tertunda!”
”Tapi tidak untuk saat ini. Nantikanlah aku pada tebing cadas Labuan Lobo pada bulan temaram kedua. Aku akan berisyarat pada pantulan sinar purnama, bahwa aku takkan pergi selamanya. Aku akan kembali. Percayalah!”
Lalu kau berdiri, tersedat terisak-isak memandangku yang semakin jauh berlabuh. Air matamu meleleh, sebagai ruatan mahkota dari perasaan suci nan lembut pesona keagungan para wanita.
*
Malatuang:
Di sini kita pernah menanam, merajut dan mengukir sajak di dedaunan nipah, Mae. Dulu sekali, kau masih kecil saat itu. Mmm, mungkin kau telah lupa, tapi aku ingat, Mae. Saat itu, aku sempat menggoreskan dua nama kita di antara pepohonan ini. Tapi aku tak tahu lagi dimana pohon itu. Dan aku tak tahu pula apakah dua nama itu masih terukir di sana. Padahal saat itu, aku ingin mengikat janji sebagai panji, bahwa di pohon itulah, aku akan menjadi suamimu kelak saat aku beranjak meninggalkan jejak. Tapi aku tak mengungkapkannya karena ku tahu kau masih belia. Kau masih belum memiliki rasa, seperti rasa yang memenjarakanku dari rona hijau mudaku hingga aku bersemi menjadi pepohonan lindap berwarna coklat. Sesuai janjiku saat itu, meski kau lupa dan tak tahu, aku akan berlayar di selatan, arah datangnya mata angin Lampasio, untuk mencarikan segelintir harapan dan gelitir kerlingan mutiara dari kerang mutiara yang kutambatkan pada pulau Lutungan. Tunggu aku Mae, tunggu aku sekejap saja. Bulan purnama kedua, aku akan menuntunmu mencumbui rembulan di tebing cadas Labuan Lobo, mengulurkan pintalan benang-benang fibrin untuk menyembuhkan lukamu yang dulu sempat menganga dan tersayat luka. Meresap ke nadimu, tempatku melekatkan darah merahku ke jantungmu.
Lantas telah kulewati purnama kedua, di antara jejak samudera. Ombak melamun dan menghanyutkanku di padang perdu tak berpenghuni dan asing. Di malam saat sabit meruncing, dan gemintang berkilauan bagai riak air dilentikkan lentera mentari senja, aku digulung tsunami dan perahuku lantak di jurang karam. Saat itu, hanya kau yang ada di benakku. Akankah aku mampu menyudahi janjiku di purnama kedua, saat aku tak mampu meredam sekarat asinnya lautan yang kuteguk dalam-dalam. Menyumbat jantung dan aliran darahku. Aku bukan jenis ikan yang berdetak dalam gelagak, bergelut dengan serasah asin dan air, meleraikan dahsyatnya perairan laut di gemulainya siripku. Oh, Mae Solipuan, izinkan aku merengkuh sujud atas dosa termanis yang dulu pernah kita luluri dengan cairan orgasme di pagi yang damai, dekat rerimbunan bakau dan lambaian lamun. Mungkin ini adalah kutukan Tuhan dan bala adat yang telah kita sobek-sobek menjadi serpihan yang tak utuh lagi. Ombak semakin gelap, namun cahaya gemintang tetap bertaburan bagai kerlingan minyak. Halimun mengendap-ngendap, melumatkan ranah yang telah sempat kita injak. Aku menyelinap ke dalam gelap, sekarat. Dan palung hitam menarikku hingga aku melesat ke dalam jurang air yang dahsyat.
*
”Purnama yang pertama, Malatuang. Satu purnama lagi untuk menyudahi janji.” Mae berbisik sambil mengulum senyum simpulnya yang ranum.
”Janji apa, Mae?” sentak Mae terkejut. Lalu kemudian tersenyum. Ia melihat sahabatnya, Inami Butudoka, telah duduk di belakangnya.
”Telah tampak rona merah pipimu, Mae. Aku tahu apa yang berselinap dalam benakmu.”
”Ah, kau terlalu cepat menerka-nerka. Aku hanya berkata pada berang-berang di mangrove sana, karena satu purnama lagi anaknya akan lahir. Aku akan melihatnya dan aku telah berjanji dengannya.” Ujar Mae berbohong. Meski mengganjal, namun jiwanya tetap menutup rapat.
”Kau tak perlu berbohong, Mae. Aku tahu dari senyum yang kau kulum di bingkai jendela ini. Aku mengerti sekarang, kau telah jatuh cinta. Siapa, Mae?” Inami mencolek pundak Mae, merayu sambil menatap penuh tebak. Setelah itu mereka tertawa bahagia, penuh dialektika manis dan ayu. Kulit mereka diterpa angin selatan, sambil menumpahkan curahan hati, securah-curahnya. Hingga menggenangi persahabatan kedua dara ayu berparas timur kemayu itu.
”Malatuang, pemuda awak kapal. Aku bertemu dengannya di pelabuhan Dede. Alisnya menyiratkan, ah entahlah Inami. Saat itu dia menyerahkan kepadaku sebuah selendang dari tanah Bugis, sebagai tanda perkenalan katanya. Saat itu, ia baru saja berlayar dari Selatan, dari Tanah Daeng.”
”Wah, betapa senangnya mendapatkan hadiah dari saudagar jauh.”
”Tidak Ina, ia bukan saudagar dari jauh. Ia terlahir di desa ini, Tinabogan. Ia pernah menetap di bentangan lansekap tempat kita ini. Dan yang membuatku terkejut alang kepalang, ia mengenalku. Ia menuturkan lisannya mengeja namaku. Aku tersentak, lalu pelan-pelan kutanya, di mana ia tahu namaku.”
”Lantas, apa yang ia katakan, Mae?” Inami mendengarkan penasaran. Degup jantungnya berirama naik turun, paras lembut wajah dan lentik matanya menyiram hati lelaki siapa saja yang menatapnya. Ah, sahabat sejatiku, Ina. Kau semakin cantik dalam kepenasaranan.
”Ia hanya tersenyum. Lalu menggamit tanganku menuju dermaga. Di sana, dia mencium keningku, tiba-tiba.”
”Kau tak berontak, Mae?”
”Saat itu, tiba-tiba saja aku bisu. Tiba-tiba saja aku kehilangan sadarku. Tapi setelah itu ia berkata sesuatu yang tak kupahami maksudnya, ia berkata, maafkan kelancanganku, Mae, karena aku rindu. Andai kau mengingat kisah yang kutorehkan pada dahan nipah, yang dulu kita tanam bersama belai lembut asaku. Dan aku datang hanya untuk membuktikan padamu, Mae!”
”Membuktikan apa Mae?”
”Aku pun bingung. Aku tak tahu. Setelah berkata seperti itu, ia sentak memelukku cepat, lalu menyuruhku datang keesokan harinya di rimba bakau Pulias. Katanya di sanalah tempat aku pernah bersama dengannya. Ah, aku bingung, Na. Aku bingung saat itu.”
”Lantas kau datang?”
”Karena aku gundah!”
”Mengapa tak mengajakku, hah? Siapa tahu saja ia orang jahat.”
”Iya, maaf. Aku tak terpikir lagi ke arah itu. Tapi syukurlah ia seorang pemuda baik, bahkan terbaik yang pernah kutemui Na, setelah ayahku.”
”Apa yang kalian lakukan di sana? Jangan katakan kalau kalian berbuat sesuatu yang nista, Mae?”
”Apa kau melihatku sebagai perempuan yang tak mampu menjaga kehormatan?”
”Maafkan aku, Mae. Bukan itu maksudku. Aku hanya takut ia hanya ingin mengikat bakulele denganmu, setelah itu ia pergi begitu saja seperti yang banyak terjadi dengan orang-orang pendatang terhadap gadis desa kita.”
Aku tersenyum. Tapi jauh di lubuk hatiku, ada sekat mengganjal ulu hatiku, perasaan takut dan ragu menggantung. Apakah benar seperti itu.
”Dia tidak seperti itu, Ina. Dia bahkan tak ingin berlama-lama memandangku. Kami banyak terdiam menikmati lirik alam yang semestinya fana. Dia bahkan duduk cukup jauh dariku, kami membisu. Entahlah, Na. Saat itu aku seakan berada pada tempat yang tak asing bagiku. Kedamaian menjalari ruang rindu di gelora degup jantungku. Aku seolah kembali pada suatu masa lalu yang aku sendiri tak tahu.”
Aku mendesah. Kuserumput segelas teh hangat, dan kupersilahkan Inami menikmati seteguk gelas berisi susu hangat.
Setelah lama kami terdiam, pelan-pelan aku berucap.
”Kau tahu Ina, sebenarnya ada sakit yang mengganjal di hatiku. Aku khawatir ia tidak akan datang, Ina.” Aku pun menangis. Inami segera memelukku dengan erat dan menitikkan air mata, seakan ikut menyesali adat.
*
”Akankah kau kembali nanti?”
”Pasti Mae. Aku akan kembali. Aku akan pergi dua bulan saja, untuk sudahi hajatku di Tanah Bugis, menyelesaikan urusan dagang lalu aku akan pulang mengecupmu. Lalu biarkan kita layu dalam lantunan perdu ungu di peraduan pertama kita nanti.”
”Firasatku berbisik tak merestui, Tuang!”
”Jangan kau berkata seperti itu. Doakan saja aku kan selamat nantinya.”
”Tapi aku takut. Aku takut kau tiba-tiba menghilang tanpa kepastian, menyuguk harapku, tanpa pernah lagi datang menyeka air mataku. Aku khawatir perjalanan ini adalah episode terakhirku me….”
”Ssst, jangan teruskan lagi. Percayalah padaku. Bukankah sejak kecil kita dulu aku pernah memberikan tanda pertunangan yang kuukir di dahan pohon nipah? Yakinlah dan cintailah, seperti aku mencintaimu!”
”Tuang?”
”Ya?”
”Sebelum kau pergi, aku ingin meminta sesuatu darimu. Sebagai hadiah terakhir sebelum kau meninggalkanku sampai dua purnama penuh.”
”Apa itu, Mae? Aku pasti akan memberikannya, apapun itu.”
”Simbahi aku dengan Bakulele, jamah rinai keperawananku, Malatuang. Sudahi jelaga kabut di antara samudera dan palung hatiku dan hatimu.” aku tersedak mendengar kau menyeru itu Mae. jiwaku menyeruak meledak, tumpah riuh mencaharkan lahar, membakar. Tiba-tiba aku disulut gumpalan nafsu. Luruh sudah aku diluluh, Mae. Aku menyesal, Mae. Menyesal!
*
Purnama kedua! Mae Silopuan:
Di tebing curam karang cadas Labuan Lobo, aku di remang dalam terik cahaya purnama. Telah purnama kedua, Malatuang. Tanggal lima belas tepat, aku yakin sebab kau berkata saat itu, Purnama akan memantulkan kabarku kepadamu, dan angin selatan akan mengabarkan selaksa cinta ku yang telah luluh. Aku pasti datang, Mae! Oh, betapa membuncahnya rindu ini, Tuang. Telah kukenakan selendang ungu ini, telah kupolesi bebunga di lekat tubuhku, hendak menyambut kedatanganmu, lalu menyudahi rindu kita.
Malatuang:
Ombak bergulung melamun lambung kapal, menghempas, melempar, mencabik dan merobek bongkahan kapalku serta diriku. Aku terhempas dalam gulungan gelombang, malam redup oleh gemintang namun remang oleh rembulan. Tidak, ini adalah purnama kedua! Aku harus hidup. Janjiku untukmu Mae, telah mengalahkan kekuatan tsunami di lambung samudera. Kudengar sayup-sayup kau berdendang merdu, mengiringi tembang syair penuh haru dan rindu, menantiku. Oh, Mae. Akankah aku mampu hadir meradang dalam sedotan dasar samudera oleh gelombang pasang dahsyat ini, wahai pemilik kecantikan dan cintaku. Akankah aku mampu menunaikan janjiku. Oh, Tuhan, izinkan aku hidup hanya untuk menunaikan sekat janji ini. Malam ini malam ke lima belas, purnama kedua. Aku tergelegak menelan teguk air asin, mataku perih, jantungku menusuk. Paru-paruku gemeretuk oleh air yang mengendap masuk. Lagi-lagi maafkan aku, Mae! Tak terasa, air mataku mengalir menyatu bersama riak samudera dan ruang gelap yang tiba-tiba mendera.
Mae Silopuan:
Purnama hampir tenggelam di barat, Tuang. Lidahku kelu, dadaku gemuruh, jiwaku luluh. Aku panik sambil menggenggam harap. Akankah kau benar-benar datang, Tuang? Akankah kau benar-benar akan berkilau menyilaukanku dari dermaga, atau kau telah lupa dan guratan sketsa kisah kita kini tinggal masa tak bernama? Tak terasa, aku berderai air mata, bersimbah beningnya menyapu harapku. Fajar tak lama lagi menyingsing, melambai jingga di ufuk timur, memolesi baluran ungu di ufuk barat.
Tiba-tiba purnama meremang, kusut, surut, redup dan mati. Aku terkesiap, Purnama tenggelam mengeras di dasar abysal bebatuan samudera. Sayup-sayup, angin dari selatan bergerai menisik rambutku dan berbisik ragu diselingi tangis sendu, Purnama kedua akan memantulkan kabarku kepadamu dan angin dari selatan akan mengabarkan selaksa cinta ku yang telah luluh.
“Tidaaaaaak! Malatuaaaaaang!!!” aku menjerit, rasa sakit mencubit dan menggigit hatiku, luruh sudah hatiku terpancang dalam darah dan nanah Laut Sulawesi. Aku telah karam, Tuang. Telah karam bersamamu!
*
Tiga hari setelah purnama kedua menangis tersedu-sedu. Seonggok bangkai kapal terdampar di pulau terasing. Namun, ada seorang lelaki terbaring tertelungkup di undakan pasir, masih bernafas. Dialah Malatuang, yang kini sedang menyusun sisa-sisa desah nafas menjadi secuil nyawa, hanya untuk seorang wanita dan adat bakulele yang dulu sempat tertunda.
*
Tolitoli, 20 Mei 2009
Pemenang Harapan LMCR 2009 untuk kategori C (Mahasiswa, Guru dan Umum)
Pingback: only mae.: tak apa, cuba lagi :: apa indonesia