Oleh Nunik Utami
Riyani berlari kencang. Napasnya memburu. Keringat bercucuran membasahi wajah, juga seragamnya. Sesekali ia menoleh ke belakang.
Astaga…. Mereka masih mengejarku, batin Riyani, panik.
Di belakang, beberapa anak berseragam SMP tampak mengejar Riyani. Mereka tertawa-tawa. Di mata Riyani, wajah mereka buas. Seringainya tampak siap menelan tubuh Riyani bulat-bulat.
“Heiii… Anak Singaaaaa… Jangan lariiii,” teriak salah seorang anak laki-laki.
“Kamu malu yaaa??” seorang anak perempuan menimpali. Gelak tawa mereka terdengar menyakitkan.
Riyani merasa kakinya sangat lemas. Tapi ia tak ingin menyerah. Ia harus terus berlari. Ya, lebih baik melarikan diri dari pada dijadikan bulan-bulanan mereka.
Tak terasa Riyani telah berada di perbatasan desa. Beberapa meter di depan sudah desa tetangga.
“Pfiuuhhhh…. Akhirnya mereka pergi,” Riyani mengusap peluhnya. Ia duduk di tepi kebun tebu. Lalu mengatur napas. Dipandanginya lengan dan kakinya. Penuh luka goresan. Tadi ia menerobos semak-semak berduri agar cepat terhindar dari anak-anak nakal itu.
Riyani memandangi langit. Siang hampir kehilangan teriknya. Matahari mulai tergelincir menuju barat. Riyani merasa sangat lelah. Lelah hati dan lelah fisik.
Kapan ini akan berakhir?
*
Dewi Songgolangit adalah puteri seorang raja yang terkenal di Kediri. Wajahnya sangat cantik. Tutur katanya lemah lembut. Tak heran jika banyak pangeran dan raja yang jatuh hati padanya.
Meskipun banyak yang meminang, Dewi Songgolangit belum menentukan pilihan. Ia belum ingin menikah.
“Sampai kapan kau akan menolak setiap pangeran atau raja yang datang melamarmu?” tanya Raja, suatu hari.
Dewi Songgolangit menghela napas. Ia tak berani menatap wajah orang tuanya. Hatinya berkecamuk. Ia sangat bingung. Ia pun berpikir keras.
“Ayahanda….,” akhirnya Dewi Songgolangit berbicara.
Raja dan Permaisuri mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Sebenarnya hamba belum berniat untuk memiliki suami. Tetapi jika Ayahanda dan Ibunda sangat mengharapkan, baiklah. Hamba bersedia,” kata Dewi Songgolangit.
Bukan main bahagianya Raja dan Permaisuri mendengar tutur kata Dewi Songgolangit. Mereka merasa seperti terlepas dari beban yang selama ini menghimpit.
“Tetapi hamba minta syarat. Nantinya calon suami hamba harus bisa memenuhi syarat itu,” lanjut Dewi Songgolangit.
Raja dan Permaisuri saling pandang. Hatinya kembali diliputi rasa cemas.
*
Sebuah topeng kepala singa bertengger di depan rumah. Singa menyeramkan itu menampakkan gigi-giginya. Riyani bergidik. Lalu cepat-cepat masuk ke rumah.
“Malam-malam begini baru pulang sekolah?” tiba-tiba Bapak sudah ada di depan Riyani. Bapak memandangi Riyani yang masih berseragam, lengkap dengan tas dan sepatu.
Riyani terkejut. Ia tak mengira Bapak akan menunggunya pulang.
“Kamu dari mana? Biasanya sore kamu sudah pulang,” Bapak mengkhawatirkan Riyani.
Riyani tak sanggup menjawab. Ia langsung duduk di kursi kayu.
“Anak-anak itu lagi?” tanya Bapak penuh kesabaran.
Riyani mengangguk. Bapak menghela napas. Lalu duduk di samping anak satu-satunya itu.
“Kapan Bapak berhenti dari pekerjaan itu, Pak?” Riyani menekuri lantai.
Bapak diam saja.
“Aku lelah, Pak,” kata Riyani lagi.
“Tidak bisa, Nduk,” sahut bapak. Dari nada suaranya bapak juga putus asa.
“Pekerjaan ini sudah bapak anggap sebagai bagian dari hidup. Puluhan tahun Bapak menjalani hidup sebagai pemain reog. Tak mungkin kalau bapak harus berhenti tiba-tiba,” suara bapak terdengar lirih.
“Tapi aku malu, Pak. Teman-teman selalu mengolok-olok. Mereka mengatakan kalau bapak adalah jelmaan singa!” Riyani hampir menangis.
Bapak tertunduk.
“Sudahlah, Nduk… Biarkan mereka berkata apa saja. Tidak usah kamu dengarkan. Mereka itu tidak tahu, kalau Bapak tidak menjadi pemain reog, kita tidak bisa makan,” sahut Bapak.
Riyani terhenyak. Air matanya mulai turun satu-satu.
“Satu hal lagi yang membuat bapak tidak akan pernah melepas pekerjaan ini, karena ibumu. Pekerjaan inilah yang mempertemukan bapak dengan almarhumah ibu,” angan bapak melayang ke puluhan tahun silam. Pandangannya menerawang jauh.
Riyani tidak bisa berkata-kata lagi. Air matanya mengalir deras. Bahunya berguncang-guncang. Bapak langsung memeluknya.
*
Malamnya, Riyani tak bisa tidur. Ia memikirkan tingkah teman-teman sekolahnya. Entah mengapa mereka senang sekali mengolok-olok. Mereka menghina hidup Riyani.
Riyani anak singa. Bapak Riyani adalah setan singa yang menjelma menjadi manusia. bapak Riyani kesurupan hantu singa. Ah, betapa menyakitkan kata-kata itu. Riyani tak tahan lagi. Saat-saat di sekolah adalah saat yang paling menyiksa baginya. Sangat menyiksa!
Riyani tak bisa berbuat apa-apa. Di sisi lain, Riyani membenarkan kata-kata bapak. Kalau bapak tidak menjadi pemain reog, dari mana mereka hidup? Kalau dulu bapak tidak aktif menjadi singa reog, belum tentu bapak bertemu ibu. Belum tentu ada Riyani. Memikirkan semua ini, kepala Riyani jadi sakit. Rasanya seperti dihantam ribuan palu. Riyani jadi ingat Ibu. Dulu, sewaktu Ibu masih ada, Riyani selalu didongengkan tentang asal-usul reog.
*
Setelah bersemedi selama tiga hari tiga malam, Dewi Songgolangit menghadap Raja dan Permaisuri.
Dewi Songgolangit menghela napas. Raja dan permaisuri menunggu dengan harap-harap cemas. Mereka berdebar-debar menanti puterinya menyebutkan syarat itu.
“Calon suami hamba harus bisa menghadirkan tontonan yang sangat menarik. Tontonan yang belum pernah ada di negeri ini. Tontonan itu harus ramai. Berupa tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan. Lengkap dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh empat ekor. Nantinya barisan kuda ini akan mengiringi pengantin. Terakhir, calon suami hamba harus dapat mempersembahkan binatang berkepala dua yang akan menutup tarian.”
Dewi Songgolangit merasa lega. Ia telah mengutarakan syaratnya. Sementara itu, raja dan permaisuri terkejut. Syarat itu sangat berat. Rasanya tidak mungkin ada raja atau pangeran yang sanggup memenuhinya.
Meskipun begitu, raja dan permaisuri mengumumkan syarat tersebut ke khalayak ramai. Siapa saja boleh ikut serta, baik pangeran, raja, putera bangsawan, ataupun rakyat jelata. Pelamar yang semula menggebu-gebu, banyak yang mengundurkan diri. Nyali mereka ciut ketika melihat persyaratan yang amat berat itu.
*
Riyani terbangun. Tadi malam ia merasa mendengar suara ibu. Sayup-sayup ibu mendongeng, hingga ia tertidur.
Pagi ini, Riyani bangun dengan rasa tak karuan. Kepalanya masih pusing. Suara cemooh teman-temannya masih terngiang jelas.
Untung saja ini hari Minggu. Riyani bisa terbebas dari olok-olok.
“Nduk…,” terdengar suara bapak dari luar.
Dengan malas, Riyani turun dari tempat tidur. Lalu menuju ke luar.
Rupanya bapak sudah siap. Ia akan pergi ke rumah Pak Kepala Desa. Hari ini anak Pak Kepala Desa dikhitan. Mereka mengundang kelompok reog. Bapak akan melakukan pertunjukan reog untuk mereka.
“Bapak berangkat ya,” bapak mengulurkan tangannya. Riyani menciumnya dengan lesu.
Seperti biasa, Riyani tidak pernah rela bapak bekerja sebagai pemain reog. Dalam pertunjukan itu, bapak akan menggigit topeng singa itu dengan giginya. Lalu menari dan meliuk-liuk dengan lincahnya. Banyak orang yang menonton dan terhibur. Tapi Riyani merasa bapak malah menjadi cemoohan orang. Bahan tertawaan orang. Apalagi di mata teman-teman sekolah Riyani. Pekerjaan bapak adalah pekerjaan yang hina!
*
Akhirnya tinggal dua orang yang tetap ingin meminang Dewi Songgolangit. Mereka adalah Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya, dan Raja Kelana Suwandono dari Kerajaan Bandarangin. Mereka menyatakan sanggup untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Sang Puteri.
Raja dan Permaisuri terkejut. Dua calon suami itu adalah raja-raja yang aneh. Raja Singabarong adalah seorang manusia berkepala harimau. Tampangnya sangat mengerikan. Dari leher ke atas tumbuh bulu lebat yang penuh kutu. Wataknya buas. Ia memerintah kerajaannya dengan cara yang kejam. Raja ini memelihara seekor burung merak. Setiap hari, burung merak ini hinggap di bahu dan mematuki kutu-kutu yang ada di kepala Raja Singabarong.
Raja Singabarong sudah memiliki banyak selir. Namun ia belum memiliki permaisuri. Karena itulah ia ingin meminang Dewi Songgolangit, untuk dijadikan permaisurinya.
Sedangkan Raja Kelana Suwandono, berwajah tampan dan gagah, namun memiliki kebiasaan yang aneh. Ia sangat menyukai anak laki-laki. Para penduduk yang memiliki anak laki-laki, selalu cemas. Raja itu berjanji akan berhenti menyukai anak laki-laki jika sudah dapat memperistri Dewi Songgolangit.
Semua sudah terlanjur. Raja, Permaisuri, dan Dewi Songgolangit tidak bisa membatalkan persyaratan. Akhirnya, kedua raja itu mulai melakukan persiapan.
*
Riyani menghela napas. Gerbang sekolah sudah di depan mata. Ia terus berdo’a dalam hati. Semoga hari ini teman-temannya berhenti mengolok-olok.
Baru saja Riyani melangkah ke dalam kelas, suasana langsung ribut.
“Heeiiii.. Ini dia Si Anak Singa Kesurupan! Lihat! Wajahnya benar-benar mirip singa!” seorang anak menunjuk-nunjuk wajah Riyani.
Anak-anak yang lain menyambutnya dengan gelak tawa.
Hati Riyani merasa pedih. Ia hanya bisa menunduk sambil melanjutkan langkah ke bangkunya.
“Kemarin aku lihat bapaknya menari-nari seperti orang gila di depan rumah Pak Kepala Desa,” kata anak yang lain.
“Ohhh, bapaknya masih kerja jadi orang gila ya? Hahahaha…”
“Iya. Tapi wajahnya sengaja ditutup dengan topeng singa. Mungkin dia malu karena wajah aslinya buruk seperti singa kelaparan.”
Riyani semakin pedih. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak jatuh. Ternyata teman-temannya belum berhenti. Mereka masih senang menghina Bapak.
Bapak… Kapan bapak berhenti dari pekerjaan itu? Aku sudah tidak kuat…
L *
Braakkkkkk!!!!
Riyani membuka pintu dengan cara yang sangat kasar.
“Lho? Ada apa, Nduk?” Bapak terkejut, lalu melompat dari kursi.
“Pak! Sekarang juga bapak harus berhenti jadi pemain reog! Harus, Pak! Harus!” Riyani berteriak dengan napas tersengal-sengal. Ia tak sanggup lagi membendung amarahnya.
“Riyani! Ada apa lagi?” Bapak terheran-heran.
“Aku sudah bosan dihina, Pak. Aku tidak mau punya bapak yang pekerjaannya menari-nari seperti orang gila dan memakai topeng singa!” suara Riyani menggelegar.
“Riyani! Sabar dulu… bapak…”
“Kalau Bapak tidak mau berhenti jadi pemain reog, aku akan pergi dari rumah ini!” Riyani bergegas membuka lemari pakaiannya. Semua yang ada di dalamnya, dimasukkan ke dalam tas.
“Selamat tinggal, Pak!” Riyani meninggalkan bapak yang masih terkejut.
Bapak tidak bisa mencegah. Ia menatap punggung Riyani yang semakin jauh, dengan tatapan hampa. Air mata bapak mengalir deras.
*
Raja Kelana Suwandono sudah menyiapkan segalanya. Tari-tarian, tabuhan, juga gamelan. Tinggal satu yang belum didapatkan. Binatang berkepala dua.
Nun jauh di sana, Raja Singabarong sama sekali belum memiliki ide. Ia masih bingung dan tidak tahu akan menyuguhkan apa di depan Dewi Songgolangit.
Akhirnya Raja Singabarong berbuat curang. Ia berencana untuk menyerang Raja Kelana Suwandono, dan merampas syarat-syarat yang sudah disiapkan.
Mendengar rencana itu, Raja Kelana Suwandono murka. Ia segera menyiapkan penyerangan ke kerajaan Lodaya.
Pada hari yang telah ditentukan, prajurit Kerajaan Bandarangin menyerang Kerajaan Lodaya. Seluruh kekuatan dikerahkan. Dengan kesaktiannya, Raja Kelana Suwandono berhasil mengutuk Raja Singabarong.
Raja Singabarong sedang duduk santai. Burung merak hinggap di bahunya dan memakan semua kutu yang ada di kepala Sang Raja. Saat itulah Raja Kelana Suwandono datang dan menyerang Raja Singabarong. Seketika raja itu berubah. Burung merak yang semula bertengger di bahu, kini menempel di kepala. Dari depan, Raja Singabarong tampak berkepala dua. Kepala harimau dan merak.
Raja Singabarong marah. Ia memberikan serangan balasan. Namun Raja Kelana Suwandono berhasil menghindar. Sebaliknya, Raja Kelana Suwandono melepaskan cambuk saktinya.
“Ctaaarrrrrrrrrr…,” suara cambuk membelah langit. Kesaktian cambuk itu membuat Raja Singabarong hilang akal. Akhirnya raja itu tidak dapat berbicara.
Raja Kelana Suwandono memerintahkan prajuritnya untuk membawa Singabarong ke Bandarangin.
Pada hari yang telah ditentukan, Raja Kelana Suwandono membawa semua persyaratan ke hadapan Dewi Songgolangit. Raja itu datang bersama rombongan dengan iring-iringan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar. Juga tabuhan dan gamelan yang menimbulkan perpaduan suara yang merdu. Bukan hanya itu, Raja Kelana Suwandono juga mempersembahkan binatang berkepala dua yang merupakan jelmaan Raja Singabarong.
Seluruh rakyat dan keluarga kerajaan menyambut gembira. Mereka bersorak kegirangan. Mereka sangat senang dengan pertunjukan binatang berkepala dua yang menari-nari lincah. Tanpa terasa, seluruh rakyat ikut menari mengikuti suara musik. Itulah kesenian reog. Kesenian yang berasal dari Kerajaan Bandarangin di daerah Wengker. Wengker adalah nama lain dari Ponorogo.
Akhirnya, Raja Kelana Suwandono berhasil membawa Dewi Songgolangit untuk menjadi permaisuri di Kerajaan Bandarangin.
*
Riyani termenung. Ia duduk di depan TV, di rumah Bu Lik Sri, adik bapak.
“Sudahlah, Nduk. Makan dulu. Nanti kamu sakit,” kata Bu Lik Sri.
Riyani masih diam. Matanya menatap layar TV tetapi pikirannya melayang-layang jauh.
“Bu Lik ambilkan nasinya ya,” Bu Lik Sri menyendok nasi untuk Riyani.
“Nggak mau, Bu Lik,” sahut Riyani.
“Jangan begitu. Bu Lik sudah bilang pada bapakmu bahwa kamu menginap di sini. Kamu harus makan. Jangan membuat bapakmu semakin cemas,” kata perempuan baik hati itu.
“Kamu nggak boleh keras kepala. Bapakmu itu pahlawan buatmu. Ia yang memberimu nafkah dengan cara menjadi pemain reog,” Bu Lik meletakkan Sate Kopok di piring makan Riyani.
Riyani menatap Bu Lik Sri. Ada rasa perih yang mengiris hati.
“Teman-temanmu boleh saja mengolok-olok. Tapi suatu saat mereka akan tahu jasa-jasa bapak untuk desa ini,” kata Bu Lik Sri lagi.
Riyani tidak peduli dengan kata-kata Bu Lik-nya. Riyani juga tidak tahu persis apa arti kata-kata itu.
Pahlawan?
Jasa?
Apa maksudnya?
*
Ini sudah hari kesekian Riyani menginap di rumah Bu Lik Sri. Riyani merasa lebih tenang. Rasa kesalnya terhadap Bapak sudah berkurang.
Hari ini Riyani malas masuk sekolah. Ia ingin bersantai-santai di rumah. Mendengar cemoohan setiap hari membuat hidupnya begitu gelap.
Sinar matahari mulai masuk ke rumah. Suasana rumah jadi terang benderang. Seterang hati Riyani.
Riyani jadi teringat bapak. Tiba-tiba rasa rindu datang menyergap. Bapak sedang apa ya?
Anak itu menghela napas. Lalu duduk menyaksikan siaran TV. Dicarinya acara yang menarik untuk menghibur hati. Tapi tidak ada. Akhirnya ia memilih siaran berita.
Seorang pembawa acara yang cantik menyampaikan sebuah berita.
“Lagi, Reog Ponorogo diklaim negara tetangga. Para sesepuh dan tokoh kesenian Reog Ponorogo akan berjuang mempertahankan kesenian reog Ponorogo yang kini diklaim sebagai kesenian asli oleh negara tetangga.
Tokoh-tokoh kesenian reog Ponorogo mengaku sangat kecewa saat mendengar kabar dari situs internet milik Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan negara tetangga yang mengklaim bahwa tarian Barongan yang mirip dengan kesenian Reog Ponorogo tersebut adalah milik pemerintah negara tetangga….”
Riyani tercekat. Matanya membulat dan menatap layar TV lekat-lekat. Belum selesai pembawa acara itu menyampaikan berita, Riyani terlonjak!
“Bu Lik!!! Itu bapaaaakk!”!!
Lik Sri yang sedang di dapur, kaget. Ia tergopoh-gopoh menuju ke depan TV.
“Ada apa???!!” tanyanya panik.
“Itu Bapak, Bu Lik. Bapak sedang ada di balai desa. Diwawancarai oleh banyak orang!” Riyani menunjuk layar TV. Di sana terpampang wajah bapak.
“Oalaahhhhh… Betul! Itu Bapakmu! Ayo kita ke balai desa,” Bu Lik Sri bergegas menggandeng Riyani.
Suasana balai desa sangat ramai. Banyak wartawan dan pejabat pemerintah pusat. Mereka memberikan penghargaan pada Bapak karena telah melestarikan Reog Ponorogo. “Bapaaakkkk..,” Riyani bersiap menghambur. Tapi Bu Lik Sri mencegahnya.
“Jangan ke sana. Bapak sedang sibuk!”
“Tapi aku ingin memeluk bapak, Bu Lik,” ujar Riyani.
“Nanti saja kalau Bapak sudah pulang ya, Nduk,” Bu Lik Sri tersenyum.
Riyanti tersenyum lebar. Ia merasa bahagia. Benar kata Bu Lik Sri. Bapak adalah pahlawan bagi hidupnya. Bukan hanya itu, bapak juga pahlawan bagi bangsa. bapak telah menyelamatkan budaya negeri ini. Budaya Ponorogo, kota yang amat dicintainya.
Kali ini, Riyani merasa bangga pada pekerjaan bapak. Besok Riyanti akan masuk sekolah. Ia akan menunjukkan pada teman-teman yang sering mencemooh, bahwa bapak bukan orang sembarangan. Bapak bukan orang hina. Sebaliknya, bapak adalah orang yang sangat berjasa bagi negerinya.
Dari jauh, Riyani melihat bapak tersenyum bangga. Samar-samar Riyani melihat bapak mengacungkan dua jempol ke arahnya, disela-sela kerumunan wartawan yang berebut mengambil foto bapak.
Nunik Utami, cerpenis muda tinggal di Cibubur Jakarta Timur
Pemenang Harapan LMCR 2009 untuk kategori C (Mahasiswa, Guru dan Umum)
Catatan :
Nduk = Nak (bahasa Jawa)
Sate Kopok = salah satu makanan khas Ponorogo
Message:ku pikir bapaknya galak seperti singa ternyata pemain reog
ehm.. Iya, bapaknya pemain reog 🙂
Pingback: BAPAK SINGA DESA | Lomba Menulis Cerita Pendek Remaja - Website Kumpulan Dongeng
ceritane bagus,,,,
bapak saya juga pemain reog,,,dan skrg masih bergelud di dunia reog,,,,yaitu mnjdi pengrajin reog,,,
menurut saya,,,bagian cerita yg awal (soal temen2 mengolok2),,, itu lebih di padatkan/ di ringkas,,,karena saya jg sempat tersinggung saat membaca nya,,,,kayak merendahkan gitu,,,tp saya suka finishing nya,,,trimakasih
cceritane bagus,,,,
bapak saya juga pemain reog,,,dan skrg masih bergelud di dunia reog,,,,yaitu mnjdi pengrajin reog,,,
menurut saya,,,bagian cerita yg awal (soal temen2 mengolok2),,, itu lebih di padatkan/ di ringkas,,,karena saya jg sempat tersinggung saat membaca nya,,,,kayak merendahkan gitu,,,tp saya suka finishing nya,,,trimakasih