Eja

Oleh Irsyad

Subuh yang hening merangkak pada kota sepi itu. Tiada kata sekolah ataupun belajar untuk sebagian orang-orang yang miskin dan tertinggal seperti dirinya. Seorang remaja putri, bernama Ode kembali pergi menelisik pasar itu. Wajahnya yang merujuk keling karena tiap hari harus berkeliling  memulung sampah, berpencar dengan ibu dan adik-adiknya, memulung sampah yang masih mempunyai nilai guna, walau hanya sebagian persen dari nilai guna aslinya. Sedangkan ayahnya mulai sibuk siang nanti sebagai kuli angkat sawit. Mereka bekerja seiring rotasi dan evolusi bumi yang terus berjalan.

Pasar kecil di kabupaten pedalaman itu, biasanya hanya ramai pada hari Sabtu. Sedangkan Senin subuh itu belum ada satupun kios kecil yang buka. Tapi Ode tetap mencari sampah-sampah yang bertebaran. Gelas plastik, kantong kresek,  botol plastik, dan karung goni dengan sedikit beras, Ode temukan diantara unggunan yang tak sempurna terbakar didepan kios sembako.

Burung-burung masih bisa menyerukan frekuensi kicauannya, pada pagi itu, karena pasar kecil itu masih lengang, tanpa kesibukan berarti, hanya ada beberapa pemulung seperti Ode yang sudah memulai hidupnya dari pagi sekali. Walau pedagang, pegawai negri, atau bahkan bupati kabupaten tersebut masih menggosok punggung mereka untuk mandi pagi atau minum teh yang lelet. Sedangkan ia sudah mulai mengusik sampah-sampah busuk. Bukan sebagai cerita yang mengemis, supaya ia dikasihani, tapi supaya mereka yang beruntung bisa bersyukur tanpa harus berbusuk ria di pagi hari seperti dia.

Ode mulai beranjak lagi kedepan kios yang lain tetap mencongkel-congkel tumpukan sampah yang lain. Kali ini sebuah toko buku. Yang ada hanya plastik bekas bungkusan buku. Ia hanya mengerti akan musim sekolah, karena toko buku yang ramai, lalu beberapa hari setelah itu, ia melihat banyak anak-anak yang berbaju putih dan celana atau rok merah, atau banyak remaja yang mulai menyandang tas baru, pergi ke tempat yang bernama sekolah.

Pagi itu mulai beranjak pada jam sibuk pada kota kecil itu. Satu persatu sepeda motor, angkutan umum, dan beberapa mobil pribadi mulai nampak pada jalan utama. Ia tetap memunguti pecahan beling yang beraroma menyengat, seperti WC yang terus dipakai tapi tak dibersihkan selama bertahun-tahun, busuk sekali. Ibunya pernah bilang kalau beling seperti itu bekas minuman keras, tapi dia tetap memasukkan beling busuk itu ke dalam goni yang ia pikul. Ia terus berjalan memutar ke belakang pasar dan pergi ke tempat fotokopi di sana ia melihat banyak guntingan kertas yang teronggok. Ia bergumam. “ Kok aneh ya, sekarang kertasnya nggak terbakar?”. Lalu  ia mengambil tumpukan potongan kertas yang cukup tinggi tergeletak diteras fotokopi yang masih tutup itu. Mungkin beratnya mendekati satu kilogram, dan berdebu, tapi tak masalah bagi Ode yang penting masih bisa dijual lagi nanti.

Akhirnya Ode berhenti sejenak di trotoar, duduk untuk beristirahat dan meletakkan goni itu di atas kakinya. Di sebrang  trotoar itu ada sebuah Sekolah Dasar yang akan memulai upacara. Gadis keling itu cuek dengan penampilannya yang acak-acakan, rambut ikal memerah, muka yang tak dicuci sehabis bangun tidur, baju kaos kuning lusuh, celana gembrong, sendal jepit tipis, dan kuku-kuku yang hitam, duduk, mengamati  warga sekolah itu yang akan melaksanakan upacara bendera. Ternyata tampilan acak-acakan Ode itu cukup mengganggu pengguna jalan bahkan beberapa remaja sengaja turun dari trotoar itu untuk menghindari Ode, merasa mereka tak sederjat atau jijik, entahlah. Ode hanyalah manusia yang kebetulan memilih tampilan seperti itu.

Beberapa saat kemudian, tanpa sengaja ia ketika hendak berdiri, ingin ikut memberi hormat pada bendera seperti anak SD di depannya, goni itu terguling kedepan dan memuntahkan tumpukakn potongan kertas yang ia ambil tadi. Kertas itu semakin berantakan dan berterbangan ketika sebuah sepeda motor tiba-tiba lewat membawa angin dengan kecepatannya yang tinggi. Spontan, kertas itu terburai disambar angin. Diantara hikmatnya siswa SD yang sedang hormat pada bendera merah putih, seorang pemulung sibuk memungut kertas untuk menyambung hidupnya. Jika tak segera, maka kertas itu akan bertebaran kemana-mana dan jatah nasinya juga berkurang.

Kertas itu terbang bertebaran di tengah jalan tersebut. Langsung ia bereaksi mengejar dan memunguti kertas-kertas bekas potokopi itu. Ditepi trotoar berserakan, bahkan ditengah jalan.

Tiiiiiiiin! Woi orang gila, mau mati kamu?” Seorang  pengendara mobil, sedang yang melintas hampir menyenggol Ode, galak berteriak, tak mau tahu bahwa manusia remaja di depannya juga mau hidup. Di samping itu  prosesi mengheningkan cipta di SD itu juga terganggu.

“Mana mau mati Pak, ini lagi cari uang nih!” Teriak lebih keras Ode membalas teriak bapak tadi walaupun mobilnya sudah menjauh. Sontak teriakkan itu mengejutkan anak-anak peserta upacara, seperti magnet yang membawa mata dan konsentrasi mereka supaya menoleh ke belakang tanpa mempedulikan prosesi mengheningkan cipta yang sedang berjalan.

“Selesai!” Kata pembina upacara yang tak lain adalah kepala sekolah SD tersebut. Tapi ia dan guru-guru lainnya,  terkejut ketika mengangkat kepala melihat anak-anak peserta upacara sedang asik menoleh ke belakang asik memperhatikan Ode yang kalang kabut memunguti lagi kertas-kertas yang bertebangan itu.

Ehm, anak-anak!” Sontak kepala-kepala itu kembali menghadap ke depan, ke pembina upacara, meninggalkan Ode yang berkeringat setelah mengumpulkan kertas-kertas itu.

“Wah, wah, kertas ini bikin ribet.” Desis Ode sendiri.

Ia kembali duduk di trotoar itu, istirahat  sambil memungut potongan kertas terakhir yang berada dekat kakinya. Sebuah fotokopian, yang berisi pelajaran mengeja. Ia mencoba melihat simbol-simbol alfabet yang tak bisa ia artikan. Kebutaan yang menyedihkan itu, membuat Ode tak tahu bagaimana membaca apalagi mengeja apa yang ada didepannya. Karena tak ada kata belajar dalam 15 tahun perjalanan hidupnya. .

ma-sa               = masa                                     mi-si    = misi

ma-war            = mawar                                  mi-num= minum

ma-ti                = mati                                      me-ja   = meja

ma-las              = malas                                    me-rah= merah

Kebingungan meneteskan banyak  pertanyaan bagi Ode, kata apa yang ada di tangannya, bagaimana cara membacanya, atau huruf A itu yang mana. Ia mengingat lagi kenapa banyak orang mudah sekali membaca simbol-simbol tersebut. Sedangkan ia, tak tahu mana yang harus diatas mana yang harus di bawah. Membaca itu dari kiri ke kanan, atau kanan ke kiri.  Ternyata dudukannya telah banyak menghasilkan kesadaran atas nama kebodohan yang baru  ia sadari beberapa detik yang lalu. Ia kembali berusaha menggunakan logika sederhananya.

“Kapan aku bisa kaya, kalau membaca ini saja tak bisa?” desisnya sendiri, kembali mengamati potongan kertas digenggamannya. Dari sana muncul suatu keinginan yang besar, keinginan yang datang dengan sendirinya, keinginan seorang pemulung untuk maju ditengah kemunduran banyak orang, sebuah keinginan kecil bagi banyak orang, tapi sangat langka bagi seorang pemulung seperti Ode. Ia ingin membaca.

Akhirnya ia menyimpan satu potongan kertas itu kedalam saku celananya. Ia kembali melanjutkan aktifitas memulungnya. Berjalan berhenti memilih memungut,jalan lalu berhenti untuk memungut, berjalan berhenti, lalu melihat-lihat sampah, lalu berjalan lagi. Begitu saja menjelang tengah hari, akhirnya ia memilih beristirahat disamping sebuah rumah makan. Tepatnya dekat tempat menyuci alat makan yang kotor. Iseng, dia membuka lagi kertas yang ia simpan di saku tadi. Sekarang dia memegang dengan terbalik. Kemudian bingung sendiri. Lalu memutar-mutarnya lagi.

“Mau dibakar juga, aku nggak ngerti gimana bacanya!” Ia bergumam sendiri.

Seorang tukang cuci piring menumpahkan ember besar yang berisi air kotor. Di samping Ode yang sedang bingung.

Croosss!!

Tapi sebagian mengenai dinding saluran air dan muncrat mengenai Ode dan juga kertas itu. “Pak, ini ada orang lho! Lihat-lihat dong. Kertas ku jadi basah nih!” Ode merasa kesal dianggap orang gila sejak tadi pagi. Udara yang panas yang mengejar ubun-ubun, mengail emosi banyak orang pada siang itu.

“Maaf nggak sengaja!”Si tukang cuci bergumam cuek, dan langsung meninggalkan Ode dengan baju beserta noda yang bertambah, dan bau yang meningkat, tapi kertas itu, segera ia keringkan kemudian menyimpannya lagi.

Aktivitas memulung kembali ia lanjutkan, menelusuri tong sampah di bagian belakang kota. Siang menuju sore, goni itu mulai  penuh dengan berbagai barang bekas. Tak peduli betapa busuk sampah yang dikais, Ode tak malu karena ada orang bersih yang pekerjaannya lebih busuk dari apa yang ia lakukan. Meski mereka tak memakai goni sewaktu bekerja dan bisa membaca banyak aksara. Tapi dunia telah merebakkan kebusukan yang mengotori jiwa mereka serta  nafsu serakah di banyak tempat di negri ini.

Rasa lapar menghinggapi Ode, dari siang tadi. Tak ada sarapan dan makan siang bagi keluarga Ode, Cuma ada makan malam tiap harinya, sedangkan siang hari disuruh cari makan sisa, dan uang jajan sebesar 500 rupiah. Walau tadi ia sempat minum air kran di sebuah WC mushalla, cukup  bisa menunda rasa haus dan sedikit rasa laparnya. Tapi sekarang lapar itu kembali tampil karena energi yang terus ia pakai.

Ia pergi ke warung di mana ia biasa beli satu potong roti seharga lima ratus rupiah. Itu adalah uang saku yang diberikan orangtuanya setiap hari. Di warung itu Ode bertemu dengan seorang yang dari penampilannya, bisa dikatakan ia adalah orang berpendidikan. Seorang wanita dengan baju kantoran, kacamata serta riasan muka yang masih rapi meski sore sudah menjelang. Setelah membayar roti itu, ia mulai mendekati wanita tersebut yang kebetulan sedang duduk di depan warung tersebut.

“Lagi nunggu angkot ya Kak?” Ode memberanikan diri untuk mendekat dan mulai bertanya. Tapi balasan wanita itu cuma kerutan kening, dan diam, seperti ia tak mendengar  satu kata pun.

“Lagi nunggu angkot ya Kak?” Ode mengulangi lagi ucapannya, mengira kalau tadi suaranya terlalu pelan. Akan tetapi, wanita itu malah menggeser badannyua menjauhi Ode.

“Nama saya Ode kak. Kak ajarin saya baca dong! Ini tadi saya dapat kertas tapi saya nggak bisa baca, kalau nggak bisa baca nanti saya nggak tau apa-apa, gimana mau kaya, membaca saja nggak bisa. ” ia terus membongkar isi sakunya, mencoba mengeluarkan kertas tadi sambil bergumam. Ia ak menyadari wanita tadi telah kabur karena merasa risih dan terganggu  melihat seorang pemulung antah berantah menghampirinya.

Ode tak lagi memikirkan laparnya, karena ia ditinggalkan seperti orang gila sendirian, lebih menusuk lagi daripada dibilang orang gila. Pertanyaannya tak diacuhkan, bahkan langsung ditinggal dengan kebingunggan serta merasa tersinggung karena tak dianggap.Satu tetes airmatanya keluar dari nurani, bersama niat baiknya yang tak digubrisi karena status pemulungnya, yang melabel dirinya sebagai seseorang yang tak pantas belajar di zaman teknologi ini.

Wanita itu beranjak menjauh meninggalkan Ode, yang menghapus air mata langka itu. Ia gontai memanggul lagi karung tempat hasil memulung tadi. Tanpa nafsu mulai memakan satu potong roti. Memang sebuah hadiah besar dianugrahkan Tuhan bagi mereka yang mau berubah, hadiah besar yang bernama semangat. Ode tak putus asa untuk menanyakan tentang bagaimana cara membaca kepada orang-orang yang ia temui di sela-sela kegiatan memulungnya. Ada yang mengacuhkan tapi sayang tidak bisa baca juga. Ada yang bisa tapi tidak mau mengajarkan. Bahkan ada seorang guru yang baru keluar dari sekolahnya hendak pulang dengan mobilnya yang ada di parkiran sebuah sekolah SMA langsung memanggil satpam untuk mengusir Ode. Tapi bagi Ode, zaman belum berakhir, jadi masih ada kesempatan untuk mempelajari apa yang ada di tangannya. Walau tak ada guru dan sekolah yang menerimanya.

Setelah pulang, meletakkan hasil memulungnya di depan rumah, yang masih kosong, karena anggota keluarganya masih sibuk memulung hingga malam nanti, dan bapaknya juga belum pulang dari perkuliannya dikebun sawit di kota tetangga.

Ode memilih satu tiang lampu didekat taman kota yang sempit itu. Senja itu lampu pada tiang itu sudah hidup dan pengunjungnya juga mulai sepi. Tapi ia tak peduli dengan segala hal yang ada disekitarnya membuat dia merasa minder. Kemudian ia duduk bersandar dan mengeluarkan lembaran kertas tadi, mulai memusatkan pikirannya, walau tak tahu darimana ia harus memulai. Menatap huruf m seperti melihat seperti tiang dan atap rumah, huruf w seperti garpu, atau  seperti bapak yang buncit. Tapi ia tetap tidak tahu apa dan bagaimana membaca semua alfhabet itu.

”Kamu membaca apa, Nak?” Suara yang datar dan pelan terdengar menyentuh gendang telinga Ode memberikan respon kepada saraf di bagian oklfaktorinya. Suara itu membuatnya terkejut dan menoleh kearah sumber suara.

Ternyata tak hanya Ode yang bersandar pada tiang listrik itu, tapi dari tadi seorang nenek tua juga duduk menyadar, diam mengamati Ode, pada tiang listrik yang sama. Dari penampilannya, nenek itu sepertinya ia adalah seorang gelandangan, ia memakai jaket lusuh yang berlapis-lapis membuat badan kurusnya terlihat gemuk, walau muka keriput dan hitamnya tetap mencerminkan penderitaan yang memanjang hingga waktu senja hidupnya berujung pada jalanan dingin, tanpa atap.

“Ini Nek, sedang belajar membaca. Dari tadi ngak bisa terus, susah sekali nek. Aku ingin sekali bisa membaca, tapi ngak ada yang mau ngajarin, ibu bapakku juga ngak bisa baca. Tadi juga udah bertanya sama banyak orang, tapi ya tetap aja nggak ada yang nggak bisa ngajarin” Ode tetap bersemangat menjelaskan apa yang ia alami.

“Kamu ngak pernah sekolah, ya Nak?” tanya nenek itu.

Nggak pernah Nek! Aku bantuin orang tua mulung sampah” Ode menggeleng biasa saja, kemudian kembali memandang bingung kertas yang ada didepannya .

Lha, kamu mulung sampah kok mau belajar baca. Untuk apa tho?” Nenek itu kembali bertanya.

“Ya supaya bisa ngerti banyak hal Nek! Bisa membaca, bisa tau banyak hal. Nanti aku bisa baca banyak buku, bisa buat pekerjaan untuk diri sendiri. Aku baru sadar kalau ngak bisa baca ya ngak bisa ngapa-ngapin selain mulung sampah Nek.”

Angin senja juga ikut mendengarkan keinginn berubah seorang pemulung itu. Mengirimnya pada alam yang ingin memulai masa senjanya.

“Ya sudah, sini aku ajarin! Ayo ini huruf M, ini A, jadi MA. Ayo eja! ” Seperti sebelumnya, suara itu terdengar datar dan pelan, tapi kata-kata itu sudah cukup membuat semangat Ode kembali membara. Mulailah Ode mengeja, dengan bersemangat. Bak memisah benang kusut, ujung-ujungnya telah Ode temukan dan sekarang ia mulai mengurai benang kusut itu. Ternyata seorang guru telah Tuhan kirimkan untuk dirinya. Seorang nenek yang dulu pernah belajar membaca dengan teman yang baik, tak memandang kemiskinannya. Tapi  akhir hidupnya tetap miskin dan tercampak dari anak-anaknya yang entah dimana. Maka jalanan ia pilih menjadi rumah terakhir karena takpunya rumah dan tak bisa mengontrak. Tapi ada satu bagian yang ia sumbangkan pada bagian dunia. Ilmu yang bermanfaat, dimulai dari malam itu.

Mulai senja itu, Ode  menemui nenek itu untuk belajar membaca. Terkadang ia juga membawa adik atau temannya. Ode mulai mengenal huruf A sampai Z dari tanah yang digores oleh tangan tua nenek itu, atau terkadang coretan arang pada triplek sumbing hasil memulungnya. Ode membaca kata masa untuk masa belajarnya yang berkembang seperti kata mawar, sebuah keindahan, walau kata mati untuk belajar pernah singgah kemudian membawa kata malas pada ejaan hari-hari Ode yang kelabu dalam sampah. Tapi ia juga mulai mengenal kata misi dari nenek gelandangan yang mengenal banyak arti. Kata minum memang selalu ia lakukan setiap hari, tapi meminum suatu pengetahun membuatnya terus haus. Ode sudah menemukan kata meja,   meja yang cantik yakni tanah taman kota yang ikut mengartikan simbol-simbol itu. Bersama malam, semangat merah itu terus mengiringi Ode dan nenek gelandangan itu. Dimulai dari suatu keinginan membaca, membawa arah untuk membaca hidup. Ode mengukir alphabet semangat dalam langit senja bersama seorang renta. Menggabungkannya menjadi kata.

“Terserah kau dan aku ini siapa, tapi aku punya lidah yang harus bisa membaca. Terimakasih Nek!” Ia berujar sendiri ketika bisa membaca sebuah koran pagi yang tercecer di sebuah halte, yang memberitakan Nenek renta itu mati tertabrak truk.

Angan-angan berantai mengungkap kata impian.

Terus berlanjut pada usaha keras

Menangkap kesempatan emas

Walau derjatmu serendah teras

Tapi ilmu tak kenal status.  Karena ia terus membuat diri ini haus

           Kemudian kita terbang bersama sakit

           Menuju sebuah pembuktian

        Seperti benang kuat pada tenunan zaman

*

Irsyad, lahir di Bukittinggi akhir April 1992.  Pemuda berkacamata ini,  mahasiswa   Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir di Yogyakarta

 

Incoming search terms for the article:

ceritapendek remaja, cerpen bertema sampah, lmcr eja, eja oleh irsyad cerpe, bom cerpen di seberang trotoar gadis keling itu, cerpen Ode pemulung, eja lmcr, cerita bertema sampah, contoh cerpen bertema sampah, Contoh cerpen berjudul membeli baju dengan cara memulung

This entry was posted in Karya, Umum and tagged . Bookmark the permalink.

Comments are closed.