Oleh Verena Sandra Esmeralda
“Iiiiiiih…ihhhh!” Kesia memekik karena jijik, dalam hati tentu saja, sambil buru-buru menjauhkan lengannya dari tangan kursi. Gelembung permen karet, yang baru saja disemburkan oleh gadis kecil di sebelahnya, luput mengenai tangannya.
Sementara si Gadis Kecil itu, , tanpa merasa bersalah, meniup kuat-kuat permen karetnya sampai terdengar bunyi: blup! Gelembung itu pun pecah menjadi lembaran tipis transparan yang menutupi bibirnya. Ia tertawa cekikikan sambil memasukkan lagi lembaran tipis transparan itu ke dalam mulutnya. Sesaat setelah itu, ia sibuk mengunyah-ngunyah dan meniup permen karetnya persis seperti tadi.
Kesia menarik nafas panjang. Habis sudah kesabarannya. Kalau sekali dua si Gadis Kecil mengunyah dan meniup permen karet barangkali ia bisa tahan, bisa bersabar. Tapi, bayangkan, sejak pesawat take off, ia berulah. Ia terus menerus mengunyah permen karet dan meniup-niupnya, sebelum lampu merah tanda darurat di atas kursi penumpang dimatikan. Bunyi cap…,cap…cap terdengar dari mulutnya. Masih belum cukup dengan bunyi-bunyian ini, ia menambah intensi kegiatannya dengan meniup permen karetnya sambil menoleh ke segala arah. Sehingga bunyi cap…cap…cap.. blup keluar terus dari bibir mungilnya.
“Gue udah nggak tahan lagi, neh,” pekik Kesia, dalam hati tentu saja. Ia mengomel panjang-pendek, masih dalam hati juga, “Kalau dia adik gue, udah gue bentak, gue suruh diem. Udah gue buang permen karetnya itu. Huh!”
Pelan tapi pasti, kekesalan merambat naik menjadi amarah. Kepala Kesia berdenyut-denyut menahan murka yang menggelegak di dadanya, menunggu saat yang tepat untuk dimuntahkan. Bibirnya gemetaran menahan geram. Di tengah serbuan gelombang kemarahan yang hampir tak terbendung, Kesia memutuskan menjauh dari si kecil. Ia buru-buru berdiri dari kursinya. Dengan wajah cemberut kelam, persis seperti jemuran kusut, akhirnya Kesia bersuara juga, “Permisi”, katanya ketus – kepada pemuda yang duduk di sebelah si kecil, di dekat gang.
Si pemuda, entah kakak atau paman si Gadis Kecil, dengan sabar menarik kakinya yang menghalangi jalan sehingga Kesia bisa berlalu. Setelah itu ia sendiri buru-buru berdiri dari kursinya.
Dengan langkah-langkah panjang, Kesia berjalan ke belakang, ke tolet. Untunglah pintu toilet terbuka. Buru-buru ia masuk, menutup pintunya serta memastikannya terkunci dengan baik. Sesaat dipandangnya wajah asamnya di depan cermin. Dalam keadaan kesal seperti ini wajahnya jadi suram dan tidak sedap dipandang. Biar saja. Setelah itu, barulah ia menjerit dan menggeram sejadi-jadinya, “Sebel, sebel, sebel!”.
Untunglah deru mesin pesawat meredam teriakannya.“Ini semua gara-gara mama,” omel Kesia lagi, “Gue benci mama! Mama egois!”
Sehari sebelumnya papa terbang ke Bali untuk urusan bisnis. Papanya seorang eksportir sukses mau melihat beberapa contoh produk kerajinan yang akan diekspornya. Herannya, mama yang tak punya urusan bisnis apapun ikut-ikutan pergi bersama papa.
“Kesia gimana dong, Ma,” protes Kesia pagi itu sebelum papa dan mama berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta.
“Nyusul dong! Gadis mama kan sudah besar. Sudah empat belas tahun. Kok takut terbang sendiri,” ledek mama.
“Bukan gitu, Ma.Kesia lebih nyaman kalau ada barengannya.”
“Lho, barengannya kan banyak ntar, sepesawat lagi.” .
“Mama ini, bisa aja.” Gerutu Kesia.
“Terbang cuma sebentar ini. Cuma satu setengah jam. Lagian mama udah atur semuanya. Sabtu siang dijemput Pak Min di sekolah dan langsung dianterin ke bandara. Kopermu dibawa Pak Min sekalian. Kalau masih takut ntar Pak Min yang atur check-in, mau?” mama menyebut-nyebut Pak Min – sopir keluarga Kesia.
Kesia memandang mama dengan wajah heran.Terkadang, mama aneh juga.Sering tanpa rencana atau keperluan tertentu, suka mengikuti papa ke mana-mana. Barangkali ia takut papa direbut orang. Menurutnya, meskipun papanya ganteng tapi ia setia habis sama mama Kesia.
Karena mama mementingkan kebersamaan dengan papa, terpaksa Kesia harus duduk bersama dua mahkluk aneh di pesawat. Bagaimana tak dibilang aneh, sementara si Gadis Kecil berbaju biru itu ribut terus dari tadi, eh, si kakak atau apalah itu tak sedikit pun menegur atau memarahinya. Ia tidak menegur bahkan ketika gadis kecil aneh itu sibuk menggoyang-goyangkan kakinya atau menyanyi dengan keras atau bertepuk tangan. Kesia perhatikan, pemuda itu hanya sekali menegurnya.
“Dayu, ayo kakinya,” kata si Pemuda, dengan nada sabar sekali, sambil meraih kaki si kecil yang bertengger dengan santainya ke kursi di depannya.
Selebihnya si kakak atau si entah itu hanya mengelus rambut si Gadis Kecil ketika ia membuat keributan. Tentu Kesia kesal betul. Apakah ia tidak tahu kalau kelakuan anak kecil itu sudah keterlaluan? Ia menganggu kenyamanan penumpang lain? Seharusnya pemuda itu bersikap lebih keras. Membentak, atau apa gitu, untuk menghentikan kehebohan yang dilakukan si keci bandel itul. Huh. Benar-benar keterlaluan.
Setelah puas menumpahkan omelannya di depan cermin, Kesia merasa lebih lega. Ia mengamati wajahnya, kerut-merut di wajahnya sudah berkurang banyak. Sambil menarik nafas panjang, ia berbalik dan memutar gagang pintu kamar mandi. Kesia melangkah keluar.
Dengan hati ditabah-tabahkan, Kesia berjalan ogah-ogahan ke kursinya. Kursinya nomor 14F, dekat jendela. Tapi, apa yang dilihatnya di depan sana? Si kecil sedang asyik berdiri di kursi Kesia sambil melihat keluar menatap awan-awan berarak. Tapi, tunggu sebentar. Sambil menikmati pemandangan ternyata si kecil juga sibuk meniup-niup dan menempelkan bibirnya ke jendela. Aduh, gawat ini.
“Ah,” tanpa sadar ia mengeluarkan teriakan kecil. Beberapa penumpang di bagian belakang menoleh ke arahnya dengan pandangan heran. Perlahan tapi pasti, rasa kesal kembali memenuhi dadanya. Rasa kesal itu naik begitu cepat dan dalam sekejap mengobarkan amarah. Pikir Kesia cepat, “Gue harus pindah tempat duduk. Siapa tahu masih ada kursi kosong.”
Sambil berjalan pelan ke depan, Kesia mencari kursi-kursi penumpang yang kosong. Ternyata penuh, tak ada satu pun kursi kosong. Maklum Sabtu sore. Biasanya, setiap Sabtu sore penerbangan dari Jakarta menuju Denpasar selalu penuh. Apa boleh buat, ia harus kembali ke kursinya. Ia melirik ke jam tangannya. Setengah jam lagi pesawat mendarat. “Tinggal sebentar lagi ini. Bersabar dikit lagi, deh.”
Si Pemuda buru-buru berdiri begitu melihat Kesia sudah kembali. Setelah itu, ia melangkah pelan ke arah si Gadis Kecil, menggendongnya dan mendudukkannya di kursinya sendiri. Tanpa memandang kepada si Pemuda, Kesia berjalan acuh tak acuh ke kursinya sendiri. Setelah itu, diambilnya kertas tissue dari tas ranselnya dan dibersihkannya jendela pesawat yang baru ditiup-tiup anak bandel itu.l. Sementara di sebelahnya, si Gadis Kecil kembali sibuk mengunyah permen karetnya.
“Maafkan.” Terdengar suara lirih dari sebelah ujung. Kesia tak bisa menangkap kata-kata itu dengan jelas. Ia pun tak pasti apakah gumaman itu ditujukan kepadanya? “Maafkan kami,” kata si Pemuda dengan suara lebih keras dari tadi. Kali ini ia menoleh ke arah Kesia. Kesia menoleh balik sambil memasang muka masam.
“Dia,” si Pemuda memandang kepada si gadis kecil, “Ibunya baru meninggal satu minggu yang lalu.”
“Oh,” hanya itu jawaban Kesia. Semuanya terasa begitu tiba-tiba dan mengejutkan. Dalam sekejap, rasa marahnya pupus seperti bara api yang tersiram air dingin, berganti rasa iba yang menyeruak diam-diam ke dalamhatinya.
“Ini keponakan saya,” kata si Pemuda sambil mengelus kepala si kecil. “Ibunya kakak ipar saya. Ia meninggal karena penyakit kronis. Jenazahnya sudah diterbangkan tiga hari yang lalu. Besok jenasahnya akan diaben di banjar kami.”
Baru saat inilah Kesia memandang si Pemuda. Alisnya begitu tebal. Hidungnya mancung bagus. Ditambah dengan kulit kuning langsat membuat ketampanannya begitu komplit. Tapi yang membuat segalanya sempurna adalah suaranya. Suaranya begitu lembut.
“Terus, kenapa kalian tidak ikut mengantar waktu itu?” Kesia akhirnya bertanya, lebih karena tidak tahu harus bicara apa.
“Kami tidak dapat tiket. Untung kami dapat tempat duduk hari ini. Saya sudah khawatir,” katanya dengan logat Balinya yang kental. “Itulah sebabnya saya tidak tega menegur dia. Umurnya baru empat tahun. Dia belum mengerti apa yang benar-benar terjadi.”
Saat berbicara itu, Kesia menangkap suatu ketenangan, buah dari kearifan di dalam diri pemuda ini. Berbeda betul dengan teman-temannya di Jakarta sana. Apalagi bila dibandingkan dengan Beno yang tengil dan nakal itu.
“Kenalkan, nama saya Komang Naya. Orang-orang di kampung biasa memanggil saya Gus Naya. Tapi saya lebih suka dipanggil Naya saja. Dan ini, Tantri – keponakan saya,” katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Kesia.
Kesia menyambut uluran tangan Naya sambil menyebutkan namanya sendiri. Genggamannya begitu kuat dan hangat tapi tidak menyakitkan. Sesaat Kesia menyerap rasa aman yang mengalir melalui tangan Naya. Buru-buru ia melepaskan genggamannya.
“Banjar kami dekat pantai Lovina di Singaraja. Dik Kesia pernah ke sana?” Tanya Naya.
Kesia mulai menikmati percakapan ini. Suara cap…cap…cap.. blup yang keluar dari mulut Dayu Tantri tak mengusiknya lagi. Suara-suara itu seperti lenyap ditelan kelembutan suara Naya. Aneh juga ya?
“Belum. Saya belum pernah ke Pantai Lovina,” kata Kesia
“Kalau ada waktu, main ke sana. Nanti saya antar. Pantainya bagus. Tidak seramai pantai Kuta. Kalau beruntung, kita bisa melihat lumba-lumba muncul ke permukaan laut. Akan saya tuliskan alamat saya.” Naya menyampaikan tawaran manis nan indah.
Tanpa sadar Kesia meraih buku notes dan pulpennya di dalam ransel ketika melihat Naya meraba-raba dadanya mencari alat tulis.
Kesia segera l menyodorkan notes dan pulpennya pada Naya, “Ini, tulis di sini saja.”
“Dik Kesia sendirian?” kata Naya setelah menuliskan alamatnya di buku notes Kesia.
“Mama dan papa sudah duluan ke Bali. Biasa, bisnis sambil berlibur.” Jelas Kesia
“Mau lama di Bali?” Naya menyambung pertanyaannya.
“Ah, nggak…hanya satu setengah hari. Minggu sore saya pulang karena Senin harus masuk sekolah.”
“Ah, sayang. Lain kali kalau ke Bali lagi, dik Kesia bisa telepon saya.Biar saya antar ke pantai Lovina.”
“Liburan semester depan saya pasti ke sini,” kata Kesia tiba-tiba. Padahal ia tahu persis papa dan mamanya sudah membuat rencana untuk berziarah ke Lourdes. Ah, gampang – kata Kesia dalam hati. Nanti ia akan membujuk papa dan mama untuk mengubah rencananya.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara pramugari menggema ke seluruh kabin. Ia meminta seluruh penumpang bersiap-siap, karena sebentar lagi pesawat akan mendarat. Kesia memandang ke bawah. Landasan bandara Ngurah Rai terlihat di bawah sana. Ia menarik nafas panjang sambil memeluk erat-erat buku notes di dadanya.
*
Verena Sandra Esmeralda, siswi SMP Citra Kasih, Jakarta Barat.