KUTILANG MENCIUM BULAN

Oleh Aksan Taqwin

 “Tujuan ayahku setelah lulus SMA nanti aku akan dikuliahkan di fakultas kedokteran, sama sepertinya.  Namun apalah daya. Kematianku di usia muda dan saat itu  aku baru pertama kali menstruasi” ujar Bulan

A

Siang  terpotong  senja. Dan malam itu, bersuara dari kejauhan wanita muda berjalan ke arahku, sehadapan. Wanita  itu kumal, namun tetap tampak cantik. Hatinya sangat tekur, senyumnya tak pernah luntur. Selalu membungkuk santun dalam terkokah hidup sepertinya. Selalu yang dirasa indah. Sekilas tiada terka pada mereka kalau dia kaya. Selain makan kembang dan minum sarparila setiap hari , dia juga masih gemar berdandan molek walau memaksa jadi saru. Selalu saja aku melihat jampuk ketika mengamatinya berlebih. Sedikit meleleh penasaran jika ku hentikan tatapanku pada apa yang dilakukannya. Selalu aneh, dari meludah hingga berbicara.

Kulihat dia sedang asyik bermain bunga kamboja yang berada di sampingnya. Diciuminya bunga itu sambil menari binal, dan setelah itu dimakan. Kunyahannya sangat membuatku tak dapat menagak atas liurnya yang menetes satu persatu. Aku tetap mengamatinya. Dia melihatku ganas, seakan ingin mencengkeramku dan dimakannya hidup-hidup.

“Kau kenapa mengamatiku?” katanya sambil meludahiku.

Wajahnya memerah seakan ingin berubah menjadi vampir ataupun makhluk bertaring tajam. Kesombongannya membuatku risih, untungnya tidak kena. Aku sangat terkejut. Wanita yang sebatas memakai kemben. Atas dadanya yang masih menonjol walau sudah tak nampak sangat indah.

“Aku telah mengamati suasana wajahmu, memasuki alam pikiranmu dan sepertinya kau sedang risau” kataku bijak.

“Kau tahu itu, dari mana kau bisa paham?”

“Sudut matamu”

Dia terus menatapku, kuratapi dia di atas ranting pohon asam dekat makam. Angin yang perlahan menggelitiku serasa ingin ku terlelap dalam mimpi yang sangat indah. Namun aku tak mampu seperti mereka yang memiliki kenyamanan yang lebih. Syukur tetap ada di setiap lantunannku. Walau terkadang aku ingin seperti mereka yang bisa menikmati semuannya.

“Hei..burung keparat, apa yang kau lakukan?” katanya, marah.

“Haha…kau cukup gila rupanya” kataku kemudian terbang.

“Hei….Kutilang, tunggu. Kapan kau kembali lagi ke sini?”

Teriakannya sangat keras. Namun aku tak menghiraukannya sama sekali. kesombongan yang memuncak tak bisa mengobati rasa sakit hatiku. Terlalu sombong bagiku sepertinya. Karena dia merasa menjadi wanita yang sangat sempurna.

B

Ketiaknya berlumuran darah. Sudah sepuluh tahun ini darah itu terus mangalir. Sesekali dia bertemu aku, dia selalu berkata; “ Kau tahu aku?” Namun aku sudah tak mau memperhatikannya. Sehingga aku malas berbicara dengannya.

Waktu itu.

“Ketiakmu kenapa?” kataku

“Aku tidak tahu, seingatku waktu itu ketiak ini telah ditusuk kekasihku dengan pisau, gara-gara aku tidak mau ditidurinya. Setelah itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi” Jawabnya.

“Lantas, sudah berapa bulan luka itu?” kataku pura-pura  penasaran.

“Aku tak tahu.”

“Sepuluh tahun?”

“Mungkin sepuluh tahun, kau penduduk baru di sini. Kau belum paham aku.”

“Iya, kau benar. Aku belum paham kamu, karena aku ke tempat ini sangat terpaksa. Karena aku pergi meninggalkan keluarga.”

Wanita tua itu terus mengelilingi ribuan makam yang ada di sekelilinginya. Dia terus berjalan dengan keringat bercucuran. Ketika dia mau pulang ke rumah, selalu saja dia kembali ketempat yang sama. Ketika berjalan ke arah utara atau pun ke timur selalu saja kembali ke tempat yang sama pula.

“Kutilang, kau tahu rumahku?”

“Belakangmu itulah rumahmu” kataku penuh iba.

“Makam?”

“Iya itulah rumahmu”

Brengsek, aku tak ada waktu untuk bergurau, kau malah main-main denganku?”

“Aku serius, itulah rumahmu. Kau sudah meninggal.”

“Aku? Bagaimana mungkin. Aku bisa melihatmu, aku bisa merasakan hembusan angin, aku bisa merasakan manisnya daun kamboja, aku bisa merasakan segarnya embun.”

“Aku paham betul itu. Tapi apakah kau merasa lapar?  apakah kau merasakan sakit yang ada di ketiakmu itu? Setiap kamu ingin pulang selalu kembali di makam ini kan? Coba kau tengok, tertera nama siapa disitu”

“Bulan? Iya itu namaku.”

“Kau meninggal karena tusukan pisau yang ada di ketiakmu”

“Benarkah? Jadi selama ini aku sudah…! Pantas, aku sudah tidak pernah menemui kekasihku yang selalu menemaniku dulu.”

“Kekasihmu telah pergi”

“Apa? Pantas, kenapa tidak pernah ada yang mengunjungiku? Sedang makam yang lain selalu dikunjungi keluarganya setiap sebulan sekali. bahkan seminggu sekali.”

“Kekasih yang kamu tunggu kini pindah tugas di luar kota, kini dia tinggal di Sumatera Utara sejak tiga hari dari kematianmu.”

“Apa dia membenciku?”

“Mungkin”

Wajahnya tertunduk. Nyaris pingsan. Rembulan telah berwajah suram. Hitam yang memekat menelanjangi rembulan yang manis benderang. Sepoi angin malam tak henti menggelitiki. Aku pun terbang menuju persinggahanku. Kulihat jampuk telah berkelebatan di atas makam Bulan. Dia hanya diam dan tersenyum tipis.

“Kapan kau akan kembali lagi?” Teriaknya kepadaku.

“Besok menjelang purnama”

“Kutunggu…!”

Malam semakin memekat. Dia telah telanjang bulat kemudian masuk di telaga buaya. Dengan pelahan mengguyur kepalanya dipenuhi belatung dan lintah. Air matanya berubah menjadi darah, dan perlahan taringnya muncul. Panjang dan sangat tajam melebihi gigi drakula.  Air  telaga tiba-tiba berubah menjadi darah, tanpa pikir panjang langsung diteguknya. Kemudian meraung dan menggaung di atas bukit dekat makam.

C

Mentari berdiri tanpa tikar bersama bau mawar menyengat nafas melati. Embun menenggalamkan sepoi pagi melentik. Membangunkan mimpiku yang belum usai. Darah itu masih tercecer di taring Bulan. Sedang aku merasa lapar ingin memakan daun yang tepat di atasnya. Sehelai cahaya pada garis mentari telah semakin tampak. Kupu-kupu perlahan muncul dari arah peristirahatan pada pohon uang sedikit berlubang. Kupu-kupu indah, menari lentur atas kemolekan tubuhnya yang ramping.  Kupu-kupu itu menjenguk Bulan yang masih saja merintih.

Hey…sampai kapan kau akan merintih?” kata kupu-kupu.

Bulan tetap diam kering. Senyum pun tak nampak pada bibir tipisnya. Melipat wajah tak memandang sama sekali. wajahnya murung merintih tak beraturan dilapisi suara angin. Suara kereta melaju kencang. Kereta mengarah keselatan jurusan Yogyakarta. Bulan terus menatap kereta itu, kemudian terbang mengikuti kereta itu masih dalam keadaan telanjang. Hanya selendang putih menutupi lehernya. Darah dari taringnya tertetes satu tetes; tepat di paruhku.

Kereta terus melaju di Stasiun Tugu. Kereta berwarna abu bergambar palu berdinding arit. Tak menghiraukan penumpang yang sedang menunggu sekian ratusan jam yang lalu. Hingga mereka beruban, rambut memanjang, taring melancip dan wajah kumus-kumus penuh keringat dan debu rel kereta yang neyeng. Aku paham betul kemana arah tujuan Bulan. Mengayun-ayunkan selendang putih tipisnya. Dia sebentar lagi akan bertemu dengan Ratu  segoro kidul. Putri yang sangat cantik yang memiliki kesaktian yang sangat luar biasa. Putri itu sudah paham maksud dan tujuan Bulan, sehingga tak perlu dideskripsikan dan atau dinarasikan dalam bentuk tulisan panjang. Jampuk terus mengikutinya, begitu juga aku. Teman sekaligus pengarah jalan untuk hidupnya dalam kegelapan.

Tanjung Balai-Asahan 03 Maret 1946

“Setelah kau diajak tidur tidak mau, kemudian kekasihmu tidak sengaja membunuhmu. Dia langsung bergegas ke sumatera utara. Dia sangat depresi dan sangat histeris melihat kematianmu. Pergi bertujuan agar bisa melupakan kejadian malam itu. Setiap harinya dia menulis sajak-sajak untukmu dengan keringatnya di atas dedaunan, kadangkala dengan tinta darah di atas bebatuan. Sajak-sajak itu tertulis indah. Suatu ketika Belanda mendengar nama kekasihmu dari komunis Indonesia, sajak-sajak tentangmu telah dirampasnya. Kemudian dijilati pemimpin Belanda dikunyah sajak itu. Kekasihmu justru kasmaran dan kerinduan kepadamu semakin memuncak, sehingga dia membuat lebih banyak lagi dan sangat nandes ning ati. Sama, sajak-sajak itu ditulis dengan darahnya di atas tanah terjal berdebu. Tanpa pikir panjang akhirnya komunis menculiknya kemudian diserahkan kepada belanda. Telinga sangat sakit ketika mendengar sajak-sajak itu, matanya mengalir air mata sehingga menjadi telaga mata air ketika melihat sajak-sajak itu. Kesimpulannya mereka iri kepadanya”

“Bangsat, apa yang mereka lakukan kepada kekasihku?” hardik Bulan.

“Dia kini menjadi abu.”

“Sialan… dengan mudahnya mereka membunuh kekasihku” cetus Bulan.

Putri  segoro kidul tersenyum tengik. Kemudian dia mengambilkan segelas darah kelinci segar dan daging kucing. Keduanya di taruh di atas batu. Bulan menatap jijik. Sesekali dia ingin muntah sampai kadang dia melengos ke belakang. Matanya ada setes air mata, dua tetes air mata. Tiga tetes, empat tetes, lamat-lamat menjadi deras. Air mata yang menjadi mata air sehingga membentuk telaga. Telaga yang sama, dua telaga.

“Makan dan minumlah, kau nanti akan hidup kembali hingga dua ratus tahun lagi”

“Apa…! Apa itu tidak terlalu lama putri? Lantas kenapa harus darah kelinci dan daging kucing yang harus kutelan?”

“Darah kelinci akan membuatmu tampak lebih cantik dan awet mudah, sedang daging kucing akan memperindah hatimu dan tampak anggun ketika para pria melihatmu. Hatimu akan semakin merunduk santun dan yang paling utama kau akan menjadi wanita yang pemalu.”

D

Bulan hidup kembali. Menjadi sesosok wanita yang sangat cantik dan pemalu. Ternyata dugaanku atas kedatangannya ke Ratu segoro kidol salah. Senyumnya berbeda dengan senyum sebelumnya. Aku terkesima menatapnya sedikit lama. Buluku berdendangkan lagu cinta untuknya dan dia menari. Gesit dan lincah. Matanya menatapku sedikit menciut, bibir tipisnya melenggok-lenggok.  Aku berlayar melintasi samudera dengan matanya. Menemukan tepat yang becahaya bagai pelangi di pagi hari. “Alangkah indahnya Lan.” Kataku kepadanya.

Sudah hampir dua tahun aku bertapa di makam ini. Tidak keluar ke manapun. Dan sebentar lagi kutukan ini akan segera berakhir, aku akan menjadi manusia kembali seutuhnya. Setelah aku menjadi manusia aku akan menceritakan sebab-akibat kepada Bulan kenapa aku menjadi kutilang. Aku dikutuk ibuku sendiri ketika aku tak menuruti kemauannya. Ibu berkeinginan agar aku tidak berpacaran terlebih dahulu, waktu itu. Ibu menganggap aku terlalu dini untuk menikmati manisnya cinta. Dengan kata lain aku akan dijodohkan dengan serigala pilihan ayah. Penunjang bisnis kerja agar lebih kaya. Ah…setan semua.

Waktu itu aku sedang berpacaran dengan dia; Bulan. Aku adalah mantan pacarnya sebelum pria yang membunuhnya. Kami terpaksa pisah karena orang tuaku yang mirip buaya bermata kuda. Hatinya keras seperti aspal. Mulutnya sengak persis bau arak. “Kau masih kecil, pendidikanmu saja yang perlu kau pikirkan. Masalah jodoh ayah sudah punya.” Itulah kalimat-kalimat ayah seperti empedu buatku.

Sudah sepuluh tahun lebih satu jam sepertiga menit, semestinya aku sudah berubah menjadi manusia normal kembali. Aku rindu menjadi manusia. Sesosok pria gagah dan tampan. Aku baru ingat kalau waktu itu Mbah Wilujeng memberi aku mantra. Dan mantra itu harus diucapkan ketika sudah sepuluh tahun. Yang kuingat mantera itu sangat rumit dan panjang. Akan tetapi aku lupa isi mantera itu.

Aku akan menjadi Kutilang selamanya. Tak akan mampu mengelupas menjadi manusia kembali. Mungkin aku akan kembali bertapa selama sepuluh tahun, lantas aku harus bertanya kepada siapa lagi mantra itu? Sementara Mbah Wilujeng sudah meninggallimatahun yang lalu. Sudahlah…aku akan menikahi Bulan secepatnya. Menikah di atas lubang buaya. Merancang bangun kehidupan yang merunduk dan berhambur kemakmuran kepada semua. Menjadi sepasang cinta yang akur dan bahagia.

“Kau ingin punya anak apa?” kataku lirih

“Aku ingin punya anak serigala”

“Kenapa?”

“Agar dia mampu menjaga dan membela dirinya sendiri dan kelak akan mencari keturunan yang membunuh ibunya”

“Kau ingin berapa anak?”

“Sepuluh juta serigala, sesuai dengan  sepuluh tahun kematianku”

Aku hanya bisa tersenyum  dan menurutinya.*

Ruang damai, Mei-22 Agustus 2011

Aksan Taqwin – Mahasiswa Universitas PGRI Ronggolawe  Tuban

Incoming search terms for the article:

lmcr rayakultura, cerpen kutilang mencium bulan, aksan taqwin, cerita pendek q ingin dia kembali, Cerita kutilang, cerpen remaja dijodohkan, cerita remaja smp yang dijodohkan, Cerita dijodohkan pura pura cinta, cerita cinta remaja dijodohkan, ###################################

This entry was posted in Karya, Umum and tagged . Bookmark the permalink.

Comments are closed.