S E G A R A

Oleh Jessy Janawati

Tidakkah mereka mengerti akan perasaan  kami ini? Menjijikkankah kami,  hingga kalian semua menebarkan  senyuman kecut-sinis untuk kami telan? Betapa sakit dan pahit semuanya itu, merasuk ke jiwa-raga  kami.

Kalian semua tak akan mengerti bila tak mengalami semua ini. Kumohon, berhentilah menyebut kami dengan sebutan:  menjijikkan!  Setiap jarutan karma yang kita  sulam pasti akan menghasilkan pahala yang sesuai dengan jarutan yang kita  dalam kehidupan kita

*

Aku hanya bisa menelan ludah ketika seorang ibu penjual kopi di pinggiran Pantai Segara melontarkan pertanyaan untukku, “Benarkah kau anak dari laki-laki yang kini tinggal di samping kuburan itu?” Tanyanya padaku ketika aku melangkahkan kakiku yang kurus di atas badan trotoar.

Aku menghentikan langkahku dan melemparkan wajah masamku ke arah  penjual kopi itu. Dua laki-laki yang sedang menikmati secangkir kopi hangat membalas pertanyaan si  Ibu tadi. “Benar. Aku  pernah melihat gadis itu  bersama laki-laki yang kau maksud.” Tegas  laki-laki bertubuh kurus sambil menyeruput kopi hangatnya yang masih mengepul.

“Hei, gek.bapamu itu beneran kena penyakit kutukan?” Tanya Ibu Penjual Kop,  dengan logat Karangasem yang sangat kental.

Aku hanya mengernyit, tidak  menjawab pertanyaannya. Aku  langsung berlari menyusuri trotoar yang sudah tak asing lagi bagiku..

Sungguh, ini adalah satu dari ribuan pertanyaan menyebalkan yang dilontarkan untukku. Aku merasa mual tiap kali mereka bertanya seperti itu. Aku marah, sungguh. Namun aku tak berani memuntahkan api  lumpur kemarahan yang terpendam dalam diriku. Tak ada gubuk bagiku untuk berteduh dari badai berkepanjangan ini ataupun tempat untukku mengeluarkan segala kepenatan yang bercampur aduk dalam pikiranku dan menekan jiwaku.

Mata dan perasaan selalu terbakar,  mendengar penghinaan: bapamu terkena penyakit kutukan! Maka aku dan ayahku lalu terkucilkan. Inilah, lembaran hitam yang harus kulewati bersama ayahku dalam mengarungi hidup ini, sangat keras. Sekeras  tumpukan karang yang berjejer di Pantai segara — yang harus kami pijak dan kami lewati.

*

Aku berlari menjauh dari sebuah gubuk kecil nan reot yang ada di belakangku. Suara ayah yang memanggil namaku masih terdengar di telingaku. Badanku gemetar hebat. Aku tak punya  nyali untuk menoleh ke belakang. Dadaku terasa sesak karena rasa amarah, sedih, dan kecewa yang bercampur aduk bak adonan kue yang dikocok dengan sendok.

Tanpa berfikir panjang, aku bawa tubuhku yang seperti tulang ini berlari bersama langkah kakiku yang panjang-panjang. Untuk mengenakan alas kaki pun aku tak sempat. Aku terus berlari dan berlari seperti orang  kesurupan.

Sekujur tubuhku masih terasa sakit, bahkan dapat aku rasakan saraf-saraf yang ada di tubuhku berteriak hingga membuat kepalaku semakin berdenyut pening. Kulirik sekilas tangan kiriku.Tak perlu menunggu lebih lama lagi, warna biru kehitam-hitaman mulai nampak dan menghiasi kulit sawo matangku. Aku mengernyit pelan menyaksikan perubahan warna kulitku yang terjadi dalam hitungan menit.

Udara dingin mulai merasuk di setiap sendi tulangku—karena tak mampu ditahan oleh kaos lusuh yang aku kenakan—menandakan aku sudah hampir tiba di bibir pantai. Asinnya aroma air laut kembali menggelitik hidungku dan semilir angin lautan mulai terasa di kulitku yang peka ini.

Kupelankan langkahku yang semula gontai dan kutinggalkan pijakan trotoar yang terasa keras. Dengan perasaan kebas di hatiku, aku langkahkan kakiku menuju tumpukan pasir putih nan halus yang menghiasi semanjung Pantai Segara. Ada beberapa kerang kecil yang mencium dan menggelitik telapak tanganku. Namun itu tak lagi terasa ketika aku memikirkan kehidupanku.

*

Angin laut menyambutku dengan suka cita, walau hatiku membalas sambutan itu dengan duka cita. Kudengar gemertak ranting pohon kelapa yang saling bertautan menghibur hatiku yang tengah gundah. Aku terus berjalan mendekati bibir pantai yang sudah tak asing lagi di mataku yang bulat ini.

Terdapat tonjolan tumpukan batu karang putih yang menonjol ke arah laut dan itu membuat pandanganku teralih untuk sesaat. Sejenak aku ingin mendekati tumpukan batu karang itu dan duduk menenangkan diri di sana, namun aku mengurungkan niatku.

Hamparan laut luas terbentang dari utara pantai Segara hingga ke selatan pantai Segara. Para nelayan yang rencananya  melaut, kulihat mengurungkan niatnnya karena angin kencang dan ombak keras yang menghantui. Di atas langit, awan gelap sudah menggantung dan bersiap untuk menurunkan jejaruman hujannya kapan saja Ia menginginkannya.

Pantai Segara yang biasanya ramai dikunjungi para wisatawan dalam negeri maupun luar negeri kini terasa sepi dan sunyi. Mungkin saja ini disebabkan karena cuaca buruk yang kian menghantui mereka. Para nelayan, akhir-akhir ini juga tak berani  melaut.Mereka lebih senang diam di rumah bersama keluarganya dan menyeruput segelas teh hangat sambil bersenda gurau.

Namun inilah saat yang aku nikmati, ketika Pantai Segara tak ramai dan ketika Pantai Segara menyuguhkan nuansa alam yang tak biasa dilihat orang-orang.

Aku mendekati bibir pantai dan duduk di atas butiran pasir putih yang halus. Kupandangi keadaan sekitarku sambil kumainkan jemari panjangku di antara butiran-butiran pasir yang aku duduki. Pantai Segara memang sangat unik, dari tempatku duduk saat ini aku bisa melihat agungnya Gunung Agung yang menjulang tinggi di balik tebalnya kabut awan yang menyelimuti pantai. Bahkan jauh di timur sana, aku masih bisa melihat tingginya karang Nusa Penida di balik luasnya laut biru yang membentang di hadapanku. Dan setiap pagi, sebelum aku berangkat sekolah aku selalu dapat melihat matahari terbit dengan warna jingga berkilaunya yang indah.

Aku masih mengenakan pakaian seragam SMP-ku. Seragam  lusuh dan menguning karena aku tak mampu mencucinya.  Kepalaku  pusing memikirkan kehidupanku yang semakin hari semakin menyakitkan. Namun, pukulan ayah yang baru saja ia layangkan padaku lebih sakit dibandingkan dengan sakit kepala akibat  selalu memikirkan kehidupan kami.

*

Aku tahu, ayah bukanlah tipe orang yang suka memukuli anaknya. Hanya saja saat ini hatinya tengah gundah. Aku tahu, ayah memukulku karena aku keras kepala. Ayah menyuruhku untuk tidak tinggal dengannya karena penyakit yang ia derita. Namun,  aku menolaknya mentah-mentah. Aku tak peduli dengan penyakit apa yang ayah derita, aku tak peduli dengan kata orang-orang yang selalu menyakiti hatinya, baik yang secara langsung maupun tak langsung.

Lepra. Itulah penyakit yang ayah derita. Penyakit yang kata orang-orang merupakan penyakit ‘kutukan’. Hampir semua orang yang ada di lingkunganku terdahulu menjauhi ayah. Bahkan tak sedikit dari anggota keluargaku  yang ikut mengucilkan tubuh berpenyakit itu. Namun yang paling membuat hatiku perih dan sedih adalah perlakuan ibu – ibuku. Aku tahu, keluarga kami bukanlah keluarga yang memiliki banyak uang. Jangankan untuk mengobati penyakit ayah, untuk  makan sehari-hari pun kami selalu merasa kesusahan. Namun tak seharusnya ibu ikut mengucilkan ayah.

Apa bedanya ayah yang sekarang dengan yang dulu? Tak banyak yang berubah selain penyakitnya yang semakin menampakkan kekhawatiran.

Dulu, aku tak tinggal di sini – di gubug reot. Aku dan keluargaku tinggal di pinggiran kota, menjalani hidup dengan biasa. Namun hal  itu tak dapat kurasakan lagi. Sejak kami mengetahui ayah mengidap penyakit lepra, ia h mulai menutup diri hingga akhirnya  pindah kemari. Hidup menyendiri di pinggiran kuburan yang terletak tak jauh dari Pantai Segara.

Tentu saja aku sedih karena tak kuasa membiarkan ayah tinggal seorang diri dengan penyakitnya. Aku ikut ayah,  ini membuahkan konflik di antara keluarga besarku. Nenek, kakek, ibu, kakak dan semuanya. Mereka  melarangku keras  tinggal bersama ayah,  karena mereka takut aku tertular penyakit ayah.

Aku benci ketika kata-kata larangan itu muncul dari lidah mereka. Aku tahu ini semua untuk kebaikanku.  Namun, tak sadarkah mereka akan perbuatan mereka? Aku tahu ayah sangat  sedih dan sakit hati mendengar larangan mereka itu. Tapi, ia menutupinya. Aku peduli dengan larangan mereka. Aku tak mampu melupakan tiap tetes pengorbanan yang ayah berikan untuk kami, ketika ia masih sehat. Takkan kulupakan pula setiap senyuman yang pernah  membingkai wajah ayah….

Sejak kepindahan kami ke gubug reot dekat setra ini, ayah tak pernah tersenyum lagi. Wajahnya sedih,  terlihat semakin sedih. Bahkan rambut putih mulai muncul di sela-sela rambut legamnya. Ayah juga terlihat jauh lebih kurus dan lebih tua dibandingkan beberapa bulan lalu. . Aku yakin, selain ayah dibelenggu kondisinya, ia juga  memikirkan  kegagalannya dalam membangun dinding keluarga yang kokoh.

Namun, tak seharusnya ayah menyalahkan dirinya. Bukankah, tak ada satu pun orang di dunia ini yang menginginkan dirinya tertimpa penyakit lepra dan kemudian dikucilkan masyarakat sekitarnya, bahkan oleh keluarganya?

Itu, memang penyakit yang buruk, namun, haruskah ayah diperlakukan seperti ini? Diperlakukan bagai seonggok daging busuk yang menjijikkan? Tak diberi  tempat yang layak?

*

Jiwaku meronta-ronta, tatkala ayah melontarkan sebuah pertanyaan yang menyayat hati bak sebilah pisau dapur yang menggesekkan bilah tajamnya pada sebuah daging. Sama halnya denganku  ketika pertanyaan itu terucap.

“Nak, bila Bapa meninggal nanti, di manakah Bapa akan dikubur?  Masih adakah tempat untuk tubuh ini ketika kehilangan nyawanya? Atau,  masih adakah krama yang mau menurunkan tangan-tangannya untuk membasuh tubuh atau membakar mayat yang terkutuk ini?” Tanyanya dengan tatapan menerawang ke arah Pantai Segara. Suaranya lirih dan pasrah.

Hatiku benar-benar tersayat perih mendengar pertanyaannya.

Tak ada yang dapat aku perbuat dan tak ada janji palsu yang dapat aku suguhkan untuk menjawab pertanyaannya. Aku hanyalah tersenyum perih dan menjawab dengan tekad dibalut keraguan, “Bapa tak boleh berkata seperti itu. Aku hanya berharap saat tak ada tangan-tangan yang mau menyentuh tubuh bapa,  aku masih mampu menggunakan kedua tanganku ini untuk membasuh atau mengubur tubuh Bapa. Aku adalah anakmu,  separoh darah dan daging yang mengalir di tubuhku ini adalah bagianmu.” Aku menegaskan.

Ayah terdiam sesaat,  seulas senyum perih tersungging di wajahnya ketika mendengar jawabanku. Kemudian ia  menghela nafas berat dan menoleh ke arahku. “Pulanglah ke rumah mememu, nak. Jangan sampai kau tertular penyakit terkutuk ini. Bapa akan jauh merasa bersalah jika semua itu terjadi.”

Saat itu aku hanya bisa terdiam mendengar bujukkanya. Kemudian, aku melemparkan pandang jauh-jauh ke  arah Pantai Segara yang indah.

Aku menghela nafas lelah setelah mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Hari ini sepulang sekolah, ayah kembali menyuruhku untuk meninggalkan dirinya. Ayah mengatakan kalau ia takut aku tertular penyakitnya. Seperti biasanya, aku menolak. Tapi nampaknya batas kesabaran ayah sudah habis. Maka, ia  memukulku  dengan sapu yang tengah ia bawa.

Emosi ayah sedang bergejolak. Aku memutuskan untuk berlari dan meninggalkan rumah. Aku menenangkan diri di pinggiran Pantai Segara. Deburan  ombak yang saling menyatu dengan karang putih setelah mereka berlari-larian, lalu memecah, sedikit menyejukkan jiwaku.

Aku terdiam, namun tidak bagi segara. Ia selalu hidup dan tak pernah tidur, selalu memperhatikan tiap gerak kehidupan yang dilakukan para mahluk hidup, tiap hembusan kepedihan atau kesenangan dari mahluk hidup, termasuk aku.

Aku menghela nafas. Berat. Panjang. Mataku mulai terasa perih karena kebas di hati yang bercampur sapuan angin laut yang dingin. Tak ada tempat yang dapat kukunjungi saat ini selain tempat ini. Tempat lentera-lentera alam berupa segara yang menari-narikan keelokkannya untuk menghibur persaanku yang tengah berantakan akibat badai yang tengah menyinggahi hatiku.

Aku menoleh ke belakang sejenak, memandang semanjung trotoar yang melintas dari arah selatan ke arah utara. Aku teringat ayah lagi.

*

Kupejamkan mataku yang letih dan kembali menghela nafas dengan hembusan kelelahan yang luar biasa. Aku ingin menolong ayah.  Aku ingin mengobati ayah. Aku ingin ibu ada di sebelahku untuk mendengar keluh kesahku mengenai ayah atau teman-teman di sekolahku yang kadang-kadang mengejekku karena memiliki ayah pengidap lepra. Aku ingin ibu ada di sisi ayah, mendengar keluh kesahnya atau mengucapkan beberapa patah kata penyemangat. Namun kurasa hal ini mustahil, ibu sudah lupa akan pengorbanan yang ayah berikan untuk keluarganya.

Aku terisak, tak tahu harus mengatakan apa. Kapankah ibu bisa menyadari semua ini? Kapankah kami akan keluar dari kehilafannya?

Butiran air mata terus menetes dan berlabuh di atas tumpukkan pasir putih.Aku menangis, terisak, namun sendiri.Dapat kurasakan bahuku bergetar hebat, namun tak sedikitpun suara keluar dari lidahku yang kelut ini.

Deburan ombak yang menghantam karang bisu masih terdengar di telingaku seakan-akan ombak itu merupakan kiriman dari segara untuk menghiburku. Buih-buih air segara juga terus mencium ujung-ujung jemari kakiku seakan-akan mereka memanggilku untuk mendekatinya.

Aku terenyak dari lamunanku.Mereka menyadarkanku! Mereka mendengar kepedihanku! Suara deburan ombak, buih-buih air laut yang berkejar-kejaran mencium bibir pantai, atau siulan angin laut yang berhembus dingin. Mereka semua merupakan keindahan segara yang menyadarkanku agar tak bersedih dan dapat kudengar sayup-sayup nasihat yang mereka lontarkan melalui semilir angin yang lewat di telingaku.

Aku bangun dari dudukku. Kutatap luasnya segara yang membentang indah di hadapanku. Air mataku masih kurasakan menggenagi kelopak mataku, namun kurasakan pula hembusan angin Pantai segara meniupi wajahku dan mengeringkan air mataku.

Kupejamkan mataku ke arah segara. Kurapikan segala pikiran yang merusak kepalaku. Kutenangkan diriku dan kusadari hidup ini indah, memiliki ayah dengan penyakit lepra bukanlah hal yang mengerikan. Itu merupakan hal yang jauh lebih indah  dibandingkan dengan hidup tanpa sosok seorang ayah, Ayu. Kataku mengingatkan diri sendiri.

Aku mengeluarkan sebuah pensil kecil yang ujungnya sudah tumpul dan selembar kertas yang tadi aku masukkan ke dalam kantong seragamku saat belajar di kelas. Kertas yang aku pegang merupakan kertas yang sebagian sudah robek, hanya tersisa seperempat bagian dari ukuran aslinya. Kutulis beberapa kata yang ingin aku tulis.  Kertas ini akan aku jadikan perahu untuk kata-kata yang ingin kusampaikan pada Tuhan. Aku percaya, Tuhan akan membacanya. Tuhan akan tahu, apa yang jadi kehendakku

Setalah aku menulis tiga kata yang ingin aku tulis, kertas itu kebentuk perahu. Aku  berjalan mendekati segara. Dapat aku rasakan dinginnya air laut menyeruak di kakiku yang telanjang tanpa alas kaki ini. Aku terus berjalan sedikit lebih jauh ke arah segara.

Sebutir air hujan jatuh ke wajahku menandakan hujan sebentar lagi akan turun, namun aku harus pulang sebelum jejaruman hujan berubah menjadi hujan lebat dengan kilat yang saling bersahut-sahutan.

Kupercepat langkahku mendekati segara, dan ketika air segara menyentuh lututku, aku berhenti. “Kepedihanku, kekecewaanku, dan penderitaanku. Sungguh, hanya kaulah yang mengetahuinya, Segara.” Ujarku dalam hati dengan perasaan yang jauh lebih lega dari sebelumnya.

Segara. . .Kau diam. Kau bisu. Tapi aku tahu kau peduli. Kebisuan dari butiran air asinmu menunjukkan keprihatinanmu padaku, pada hidupku.Aku tahu dari gelombang ketenangan yang kau hantamkan pada karang itu atau dari sejuknya buih-buih airmu yang menyentuh jemariku.” Kataku pada segara. Ingin rasanya aku tertawa, sungguh ironis, aku berbicara dengan laut.

Segara…” Kataku lagi pada lautn tenang yang ada di hadapanku. “Aku tahu kau memperhatikan kegalauan hatiku. Jadi, kumohon bantulah aku. Antarkanlah kata-kataku ini pada Tuhan, layaknya kau menghantarkan abu para leluhurku ke hadapan Tuhan dan antarkanlah air kehidupan yang jauh lebih jernih daripada air kehidupan yang kini aku miliki.” Kataku sambil menghela nafas.

Kutaruh dengan hati-hati kertas yang aku pegang ke atas tenangnya air segara yang mulai bercampur dengan air hujan agar tidak tenggelam.

Kulirik kata-kata yang aku tulis untuk terakhir kalinya.Tolonglah kami, Tuhan. Hanya tiga kata di atas kertas robek. Aku merasa tenang karena kertas itu tidak tenggelam, tapi aku tahu sebentar lagi kertas itu akan sepenuhnya menyatu dengan segara. Aku  harap pesan yang aku tulis sampai di hadapan Tuhan, karena aku percaya Tuhan ada di mana-mana.

Aku berbalik dan berlari mendekati bibir pantai,  karena jejaruman hujan sudah turun. Setelah tiba di atas pasir aku kembali menoleh ke arah segara. Dengan penuh harap—pesan untuk menolong kehidupanku dan ayahku—sampai ke hati Tuhan, walau tidak lagi dalam bentuk tulisan ataupun kertas.

Aku segera bergegas pulang, berlari menyusuri trotoar yang basah karena hujan.Aku tak sabar sampai di rumah dan menemui ayah.  Aku akan membuatkannya teh hangat agar ayah merasa lebih hangat. Aku tak peduli jika ayah menyuruhku pulang ke rumah ibuku. Bagiku,  yang terpenting: selalu  menemani ayah, senantiasa di samping bapa.

*

Ni Wayan Jessy Janawati, demikian  nama lengkap Jessy Janawati. Gadis  yang bercita-cita menjadi  sastrawati ini, kini duduk di bangku kelas XI SMAN 5 Denpasar Bali.

Catatan :

Segara : Berasal dari bahasa sansekerta yang artinya ‘Lautan’
Bapa    : Ayah
Meme  : Ibu              
Setra    : Kuburan
Krama : Masyarakat

Incoming search terms for the article:

cerpen segara, unsur intrinsik cerpen badai laut biru, LMCR, unsur intrinsik badai laut biru, unsur intrinsik cerpen jerit sunyi kumbolo, Segara lmcr, cerpen seragam lusuh, lmcr rayakultura net/blog/s-e-g-a-r-a, segara cerpen, unsur intrinsik cerpen segara karya jessy janawati

This entry was posted in Karya, SMU and tagged , . Bookmark the permalink.

Comments are closed.