Oleh Vanesa Martida
Gadis yang sedang berlari itu, mengenakan baju yang bertuliskan ‘Satyam Eva Jayate’ di belakang punggungnya. Ia tertunduk takut pada orang-orang yang memakai baju biru terang yang bertuliskan ‘Pionir’ di sebelah kiri dadanya dan membawa senter di tangan sebelah kanan.
“Cepat lari, kau sudah terlambat! Teman-temanmu sudah berbaris rapi di lapangan!” kata sang Pionir dengan muka seram. Ia pun berlari tergesa-gesa di tengah langit yang masih gelap, hingga akhirnya… Bruk!!! Ia terjatuh ke tempat yang agak dalam dari bagian pondasi yang ada di sekitar tempat ia berlari. Bau tak sedap pun tercium menyengat. Tak lama kemudian, muncul dua orang berjaket merah datang menolongnya. Ia merintih kesakitan.
“Kenapa?” tanya Orang Pertama, yang berjaket merah.
“Aku jatuh terperosok,” jawabnya singkat.
Dua orang berjaket merah tersebut membantunya berdiri. Akhirnya ia dapat berjalan meskipun tertatih-tatih.
“Sebaiknya kau istirahat saja dulu! Jangan dipaksakan! Kau tidak akan dapat mengikuti kegiatan hari ini,” kata Orang Pertama.
“Tetapi…” sanggahnya.
“Itu tergantung kau! Jika kau tidak ingin melihat temanmu susah, sebaiknya kau diam saja di sini,” kata Orang Kedua, yang juga berjaket merah.
Ia yang mencoba menahan rasa sakit itu, terbaring lemas di atas tempat tidur. Di sebelahnya terdapat sebuah benda kecil dengan kipas putar yang menyala dan sebuah lemari kecil yang berisi penuh dengan obat-obatan. Ketika dua orang berjaket merah itu berbalik arah menuju lapangan, barulah ia menyadari bahwa ia baru saja ditolong oleh kakak-kakak dari Palang Merah Remaja. Itu semua tertulis jelas di belakang jaket merah yang mereka kenakan.
“Fuiihh, apakah ini merupakan kemudahan bagiku?” pikirnya. Ia berkata dalam hati, “Andai saja tadi aku tidak jatuh ke dalam selokan, mungkin saja aku sudah berjemur di atas pondasi tiang bendera sembari memberi hormat kepada matahari yang mulai menyengat.”
Ia pun terlelap di dalam keletihannya yang dibelai oleh angin sepoi-sepoi dari benda kecil dengan kipas putar yang menghempaskan rambutnya.
*
“Bagaimana keadaan anak itu?” tanya seorang pria berkacamata hipermetropi, berjaket biru. Pertanyaan itu ditujukan kepada orang yang berjaket merah bertuliskan Palang Merah Remaja di belakang punggungnya. “Jangan khawatir ia hanya terluka kecil di bagian lututnya, tetapi kukira ia masih kaget atas kejadian tadi. Jadi biarkanlah ia beristirahat.” Jawab Wina.
Pria tampan berkaca mata hipermetropi itu tersenyum lega mendengar jawaban dari Wina, koordinator Palang Merah Remaja yang bertugas hari itu. “Baiklah, aku akan segera menelepon orang tua anak itu dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya.” kata Pria itu.
Tiga puluh menit berlalu dan akhirnya datanglah orangtua dari anak yang sedang terbaring di Ruang Kesehatan Sekolah itu.
“Saya, ibunya Luh Ayu Setyawati. Dimana anak saya, Dik?” tanya seorang wanita paruh baya, berbaju putih sederhana dengan make up seadanya, berjalan tergesa-gesa.
“Emm, anak ibu ada di Ruang Kesehatan Sekolah,” jawab pria berkacamata hipermetropi itu. “Oh ya, nama Anda siapa?” tanya ibu Luh Ayu kepada si Pria yang baru saja diajaknya berbicara.
“Nama saya Dharma. Saya, Koordinator Lapangan Kegiatan Masa Orientasi Siswa,” jawab Pria itu.
“Nak Dharma, ibu mohon maaf merepotkan Anda. Maklum saja keadaan psikologi anak saya, Luh Ayu masih terguncang.”
“Kenapa apa, Bu?” tanya si Pria yang bernama Dharma.
“Ada masalah – sedang menimpa keluarga kami. Sebaiknya Ayu saya ajak beristirahat di rumah saja. Saya tidak tenang meninggalkannya sendiri di sini,” pinta ibu Luh Ayu Setyawati.
*
Sinar matahari yang menyengat membuat Ayu tak tahan berada dalam kendaraan beroda empat yang AC-nya mati.
“Kalau terus begini, bisa-bisa aku tambah sesak napas,” keluhnya. “Sudahlah, kau jangan jadi anak manja. Cobalah sedikit bersabar dan tegar,” tanggap ibu Luh Ayu dengan lembut.
Sesampainya di depan pagar rumah yang bercat coklat penuh dengan aneka macam pohon dan bunga, Luh Ayu segera menuju sebuah ruangan di lantai dua. Ia agak merintih, kesakitan karena kakinya belum sembuh betul.
“Ayu, jangan dipaksakan jalan cepat! Kakimu belum sembuh betul!” Teriak ibunya. Kata ibunya benar. Tiba-tiba Ayu terpeleset ketika akan memasuki sebuah ruangan di hadapannya. Dalam dalam Luh Ayu berkata, “ Memang benar kata. Aku tak mau mendengarnya. Mungkin, aku jadi terkena karma phala.” <> Anak dan ibu kemudian terlibat dalam dialog.
“Ibu, apakah hari ini aku boleh menjenguk Ayah?” tanya Luh Ayu bersemangat.
“Jangan! Kau belum sembuh. Ayahmu akan sedih melihat keadaanmu,” jawab ibunya..
Ayu kembali teringat saat ia dan Ayahnya pergi ke suatu tempat yang indah. Di tempat itu ia mendengar suara gemercik air mengalir, taman yang begitu luas, dan dilengkapi dengan bangunan berarsitektur Bali Kuno. Tempat yang indah itu, dahulu merupakan tempat pemandian bagi Raja Karangasem – Taman Oejoeng Sukasada namanya. Sekarang taman itu dibuka untuk umum dan telah direnovasi berkali-kali..
Di taman itu, Ayah Luh Ayu menceritakan berbagai pengalamannya, yang kemudian menjadi inspirasi Luh Ayu dalam menjalani kehidupan masa SMAnya. Tetapi ada fragmen dari perjalanannya ke Taman Oejoeng Sukasada yang sangat ia benci dan ingin ia buang jauh-jauh.
*
Di Taman Oejoeng Sukasada itu, ayah Lu Ayu bertemu dengan temannya semasa SMP, Krodha namanya. Pria yang bernama Krodha itu membuat Luh Ayu menjadi tidak dapat bertemu dengan ayahnya di kala ia membutuhkan bimbingannya. Karena Krodha tega menusuk ayah Luh Ayu dari belakang. Maka Luh Ayu menyimpulkan, bahwa kata ‘teman’ itu kini tak pantas lagi ia sebutkan untuk orang seperti Krodha.
Luh Ayu tersadar dari lamunannya saat ia mendengar bunyi klakson dari sebuah kendaraan roda empat yang melintasi jalan di depan rumahnya.
“Luh Ayu, ayo…segera mandi dan sembahyang! Hari sudah mulai gelap! Jangan melamun saja!” tegur ibunya.
Luh Ayu bangkit dari sebuah kursi rotan antik yang dibuat oleh ayahnya di Ubud. Ayah Luh Ayu adalah seorang pengusaha sekaligus pengrajin rotan yang merintis usahanya dari nol hingga berkembang menjadi besar. Perusahaan Rotan Ubud dapat mengekspor produknya antara lain meja, kursi, keranjang, dan lemari sampai ke Amerika dan Jerman. Tetapi sayang, ayahnya tak dapat menikmati hasil jerih payahnya selama ini.
Luh Ayu bergegas mandi dan bersiap-siap memakai kain dan anteng untuk sembahyang. Tak lupa, ia menyalakan dupa sebagai simbol kesaksian terhadap Dewa Brahma. Setelah menangkupkan tangan dengan bunga, ia pun memercikan tirta ke atas kepalanya, sebagai lambang anugrah dari Dewa Wisnu. Tak lama setelah itu, Luh Ayu langsung bergegas menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua.
*
Hari ini adalah hari kedua Luh Ayu mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) SMA Bakti Jaya. Perasaannya terguncang setiap kali mendengar suara gemuruh dari para Pionir. Ketika Luh Ayu mulai menginjakkan kaki di SMA Bakti Jaya, ia sudah disambut dengan sinar-sinar lampu senter di lapangan parkir sebelah barat. Tentu saja sinar lampu senter itu menyilaukan mata karena matahari belum menampakkan diri. Suara-suara jangkrik ikut meramaikan suasana pada pagi subuh itu.
Saat Luh Ayu mulai berjalan menuju Lapangan Utara, tempat MOS diadakan, ia harus melewati sinar-sinar lampu senter untuk dapat menuju ke sana. Belum lagi ia dihadang oleh para Pionir dengan pertanyaan seputar materi yang telah diberikan pada saat kegiatan MOS berlangsung.
“Untuk Luh Ayu, berhenti!” seru seorang Pionir memberhentikan langkah Luh Ayu. Jelas saja para Pionir tahu namanya, karena semua siswa baru diberi instruksi membuat gantungan nama untuk dikenakan selama MOS berlangsung.
Dengan jantung berdegup kencang, Luh Ayu memberanikan diri untuk menjawab, “Ada apa, Kak?”
“Coba sebutkan nama lengkap Bapak Guru yang memberikan seminar tentang Budhi Pekerti kemarin!” tanya Kakak Pionir kepadaku.
“Emm, siapa ya??? Saya tidak tahu Kak!” jawabnya dengan wajah kebingungan. “Memangnya kau kemarin tidak menyimak seminar itu ya?” cecar si Pionir..
Luh Ayu menjelaskan kepadanya mengenai kejadian kemarin, “Bukan begitu Kak, kemarin saya tidak dapat mengikuti kegiatan MOS sampai selesai karena saya terbaring di Ruang Kesehatan Sekolah. Saya jatuh terperosok…”
“Kalau begitu, kau harus bertanya pada teman-temanmu tentang materi yang telah diberikan kemarin,” kata si Pionir.
“Baik Kak!” jawab Luh Ayu singkat..
Lu Ayu meninggalkan cahaya lampu senter itu, dan bergegas pergi menuju lapangan utara sekolah. Di sana sudah ramai sekali, walaupun matahari baru mulai menampakkan cahayanya. Pukul 06.30 tepat, seorang Pionir mulai memberikan aba-aba untuk berbaris.
MOS ini merupakan saat-saat siswa baru di uji mental dan fisiknya. Untungnya untuk mengelilingi areal sekolah yang luasnya dua setengah hektar sebanyak tiga putaran tak membuat Luh Ayu jatuh pingsan.
“Cepat lari!! Tidak ada yang santai berjalan!!!” teriak seorang Pionir.
Kelompok orang-orang berbaju biru muda dengan tulisan ‘PIONIR’ di dada sebelah kiri tersebar di seluruh penjuru lapangan sekolah. Ada juga di antara mereka yang berjaga di setiap pos yang lewati peserta MOS saat berlari. Para Pionir yang berdiri di Pos Panitia panitia mengawasi peserta MOS dengan muka sangar. Setelah berlari dan latihan berbaris, semua peserta MOS mengikuti berbagai seminar yang diadakan di aula sekolah.
Orang-orang berbaju biru terang itu akan menegur kami jika kami melakukan tindakan yang tidak disiplin. Merekalah yang bertanggung jawab atas kegiatan yang terjadi di lapangan. Sebagai calon siswa baru, kami harus hormat dan patuh kepada mereka yang selalu mengawasi tingkah laku peserta MOS.
Tampak seorang Pionir yang agak berbeda dari yang lainnya. Ia lebih berwibawa dengan mengenakan jam tangan hitam dan kaca mata minus yang berkilau dari kejauhan. Luh Ayu bertanya pada temannya yang duduk di sebelahnya, “Siapa nama Kakak Pionir itu?” temannya berbisik, “Namanya Dharma!”
Nama ‘Dharma’ berarti kebajikan atau kebaikan.
“Waah, memang pas nama dengan rupanya,” gumam Luh Ayu..
Diam-diam Luh Ayu tak bisa mengalihkan perhatiannya dari Dharma. Matanya terus menyoroti setiap gerak-gerik yang ia perbuat. Lama-lama Luh Ayu merasa meleleh di tengah lapangan, karena terpaku memperhatikan Dharma..
Lu Ayu akhirnya tahu hampir semua siswi baru membicarakan Dharma. Ia menjadi buah bibir hampir semua siswi baru. Yang mereka bicarakan tidak hanya wajahnya yang tampan, tetapi juga prestasinya yang segudang. Prestasinya mulai dari Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional, bahkan Internasional hingga Juara II Lomba Debat Bahasa Indonesia Tingkat Nasioal. Semua orang yang mendengar berdecak kagum padanya. Belum lagi, prestasinya di OSIS SMA Bakti Jaya.
Luh Ayu membayangkan betapa bangganya orang tua Dharma atas prestasi yang telah dicapai anaknya itu. “Dharma, ya Kak Dharma bisa kujadikan sumber motivasi terbesarku. Aku ingin bisa menjadi seperti dia…” tekad Luh Ayu sepenuh hati..
*
Tak terasa hari ini adalah hari terakhir MOS. Pikir Luh Ayu, hari ini i adalah hari terakhirnya dapat mengamati Dharma. Karena, sangat mungkin, pada saat kegiatan belajar di kelas sudah dimulai, ia akan jarang bertemu Dharma. Oleh karena itu, Luh Ayu ingin berkenalan, agar ia bisa menjalin hubungan pertemanan lebih dekat. Luh Ayu ingin bertukar pengalaman dengan Dharma. Apalagi ia mempunyai masalah besar dalam keluarganya.. Masalah yang menyangkut orang yang ia sayangi dan sekaligus ia hormati, yaitu ayahnya..
Awalnya Luh Ayu ragu dapat berkenalan dengan Dharma. Ternyata Sang Hyang Aji Saraswati memberikan kemudahan padanya. Tak sengaja Luh Ayu bertemu dengan Dharma di Toko Buku Harapan Jaya saat akan membeli buku tulis.
“Hai Kak!” sapa Luh Ayu dengan manis.
“ Emm, kau siapa ya?” tanya Dharma dengan kening berkerut.
Luh Ayu tersipu mendengar jawaban Dharma. Kemudian ia menyadari, memang belum pernah berkenalan dengannya. Luh Ayu salah tingkat, krisis percaya diri. Untunglah Dharma memahami perasaan yang tengah berkecamuk dalam diri Luh Ayu. Ia pun tersenyum sambil berkata lembut, “Aku pernah melihatmu!”
“Tentu Kak! Aku kan siswi SMA Bakti Jaya juga,” Luh Ayu tersenyum malu-malu.. “Oh! Aku baru ingat! Kau kan siswi baru yang pernah jatuh ke dalam selokan kan?” Dharma memandangi Luh Ayu dengan saksama.
Yes! Hati Lu Ayu bersorak tapi wajahnya memerah.
“Iya, iya. Maaf, tadi aku agak eee..lupa. Kau Luh Ayu kan?” kata Dharma.
Rasa malu Luh Ayu berubah menjadi rasa percaya diri yang tinggi. “Emm, iya Kak. Saya Luh Ayu. Tapi, bagaimana kakak bisa tahu namaku?””
L “Oh begitu… Kakak sedang mencari buku apa?” tanya Luh Ayu bersemangat.
“Saya mencari buku Kumpulan Kitab Sloka Upanisad. Pak Gusti menugasiku mencari makna filosofis yang terkandung dalam suatu sloka. Sloka tersebut boleh tentang apa saja, yang penting kita mengerti dan bisa memaknai dari suatu filosofi yang ada di dalam sloka itu.”
“Apakah kakak sudah menemukan buku itu?”
“Belum. Saya baru akan mencari sampai di rak buku yang ada di pojok itu,” Dharma l menunjuk ke arah rak buku yang berada di sebelah pojok kasir.
“ Kalau begitu, sebaiknya kubantu ya?”
“Baguslah kalau begitu. Beban saya jadi lebih ringan,” Dharma tersenyum.
Jiwa Luh Ayu terasa bergejolak. Perasaannya penuh semangat dan jiwa bersenandung nan merdu,”Aku sangat beruntung bisa bertemu Kak Dharma di sini. Ohhhh,”
*
Luh Ayu dan Dharma duduk di bangku panjang di warung kaki lima yang letaknya tidak jauh tak jauh dari toko buku yang baru saja mereka kunjungi.
“Mau pesan apa Kak?” tanya Luh Ayu.
“Kali ini Kakak yang traktir. Anggap saja sebagai hadiah karena kau telah membantu kakak mencari buku Kumpulan Sloka tadi,” kata Dharma kepada Luh Ayu..
“ Emm, apa sajalah. Sama saja dengan Kakak.” Sahut Luh Ayu riang dan ringan.
“Baiklah kalau begitu. Bu Made, saya pesan nasi lawar ditambah ayam betutu dua porsi ya! Jangan lupa juga es teh manis dua gelas!”
“Iya sabar ya, Yan!” kata Bu Made pemilik warung, sembari mencuci piring..
“Hah? Wayan? Mengapa Kak Dharma dipanggil Wayan?” tanya Luh Ayu dalam hati. Kemudian ia menjawabnya sendiri, “Nama lengkap Dharma adalah I Wayan Dharma Diaksa. Maka ia dipanggil Wayan.”
“Warung Bu Made ini menjadi langgananku sejak aku kecil,” Dharma bercerita..
Tapi pikiran Luh Ayu tiba-tiba melayang-layang..
L “Kamu melamun?” tegur Dharma. “Ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan ya?” “Maaf Kak, aku memang sedang punya masalah yang selalu membuatku tidak tenang,” sahut Luh Ayu tanpa ragu-ragu, karena merasa begitu dekat dengan Dharma.
“Masalah apa?” tanya Dharma penuh perhatian.
Sikap Dharma membuat Luh Ayu makin membuka diri dan percaya bahwa Dharma mau membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
“Emm, mengapa ya di dunia ini ada saja orang yang tega mengkhianati temannya sendiri hanya demi bayang-bayang harta yang berlimpah?” kalimat Luh Ayu meluncur cepat.
“Hal seperti itu memang banyak terjadi di zaman kaliyuga seperti sekarang, di mana kejahatan lebih banyak mendominasi daripada kebaikan. Tetapi yang harus kita pikirkan dan lakukan adalah bagiamana bangkit dari keterpururukan itu, dan selalu mencari kebenaran. Kau ingat salah satu bunyi sloka dari Kitab Upanisad yang diadopsi oleh sekolah kita untuk dijadikan motto sekolah? Itu lho, kata-kata yang tertera di pakaian olahraga yang kau kenakan,” kata Dharma dengan kalem tapi mantap.
“ Maksud kakak kata-kata Satyam Eva Jayate itu?” Luh Ayu tergugah
“Iya. Apakah kau tahu arti dan maknanya?”
“Emm, tidak Kak.” Luh Ayu berterang-terang.
“Untuk apa kau bersekolah di SMA Bakti Jaya kalau kau tidak tahu motto sekolahmu sendiri?” Dharma memandangi Luh Ayu.
“Kalau begitu, tolong Kak, jelaskan. Saya siswi baru yang belum banyak mengenal apa yang ada di dalam SMA Bakti Jaya.” Pinta Luh Ayu.
Dharma membuka-buka halaman buku yang baru saja dibelinya, lalu tersenyum sebentar, dan kembali menutup buku tersebut. Kemudian ia menjawab pertanyaan Luh Ayu, “Baiklah, Satyam Eva Jayate itu artinya hanya kebenaranlah yang akan selalu menang. Jadi, jangan pernah kau meragukan kebajikan atau kebenaran. Karena, apa yang kita lakukan sebagai hasil dari suatu kebaikan bersifat abadi. Sedangkan hasil dari sesuatu kejahatan hanya bersifat sementara. Hanya saja pada masalahmu itu, hasil kebaikan tersebut tertutup oleh debu kejahatan yang bersifat sementara. Itu, juga merupakan ujian dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada umatNya yang telah berbuat kebajikan. Jadi jangan pernah ragu untuk melangkah ke depan, meraih kembali apa yang disebut dengan kebenaran.”
Kata demi ucapan Dharma berangsur-angsur mencerahkan jiwa Luh Ayu. Ia memahami, manusia tidak perlu ragu dalam melangkah untuk menuju jalan kebenaran.
“Wah, aku tidak menyangka kalau motto sekolah kita sangat bagus seperti itu. Jadi Satyam Eva Jayate itu merupakan sebuah sloka ya Kak?” tegas Luh Ayu.
“Tepat! Itu adalah sloka yang diambil dari Mundaka Upanisad III.1.6. Sekolah kita mengangkat suatu filosofi kuno untuk dijadikan sebagai dasar atau landasan dari setiap kegiatan yang akan dilaksanakan oleh sekolah.” Sahut Dharma mantap.
“Wah, terima kasih Kak Dharma, karena Kakak telah membuka jalan pikiranku, mungkin ini sebagai landasanku agar dapat melangkah pasti menuju kebenaran yang sangat kuidamkan.” Perasaan Luh Ayu terasa terang benderang.
Matahari mulai menenggelamkan diri, setelah Luh Ayu dan Dharma selesai menyantap nasi lawar dan ayam betutu di warung kaki lima Bu Made.
Perjalanan pulang ke rumah bagi Luh Ayu sangat menyenangkan, karena Dharma mengantarkannya pulang. Luh Ayu tidak pernah menyangka pertemuannya dengan Dharma di Toko Buku bisa berlanjut begitu indah..
*
Minggu pagi yang mendung, membuat Luh Ayu enggan berpergian. Ia memilih tinggal dirumah, bercengkrama dengan ibunya. Ia ceritakan pula tentang pertemuannya dengan Dharma berikut paparannya mengenai Satyam Eva Jayate.. Raut muka ibu berseri-seri mendengar apa yang dituturkan putrinya itu. Luh Ayu juga memetik hikmahnya, bahwa masalah yang tengah dihadapi keluarganya akan teratasi, karena kebenaran akan menang. Itu berarti, ayah Luh Ayu yang dipenjara ada harapan akan bebas karena ia tidak bersalah..
Enam bulan berlalu begitu cepat, Luh Ayu menerima laporan hasil belajarnya selama satu semester. Ibunya tersenyum bahagia saat mengetahui bahwa putrinya mendapat peringkat pertama di kelas. Anak dan ibu bahagia, saling berpelukan, pelukan yang begitu hangat. Ibunya pun menangis. Tapi, Luh Ayu tidak mengusap air mata ibunya, karena ia tahu itu air mata bahagia.
Di sisi lain, Luh Ayu kembali teringat Ayah. Andai saja ayahnya bersamanya, pasti kebahagiaan mereka terasa lebih lengkap. Luh Ayu tak sabar untuk segera menjenguk ayah yang mendekam di Rutan Kerobokan. Ia dan ibunya menuju ke Rutan menggunakan angkutan umum. Tak lupa kami membawa makanan kesukaan ayahnya..
Luh Ayu tak kuasa membendung air matanya, saat melihat sosok ayahnya yang bertambah kurus dan kumal. Apa pun, ia segera berlari dan memeluk ayahnya.. Ia ceritakan berbagai hal yang dialaminya selama enam bulan terakhir. Ayahnya tersenyum bahagia. .
Seseorang berpakaian rapi, berkemeja merah jambu dan berjas hitam datang menghampiri Luh Ayu, ayah dan ibunya. Orang itu, Nyoman, adalah teman ayahnya semasa SMA. Ia pernah datang ke rumah Luh Ayu untuk membantu mencari kebenaran atas peristiwa yang menimpa ayah Luh Ayu..
“Selamat siang Bu,” kata Nyoman, mengapa ibu Luh Ayu..
“Selamat siang. Bagaimana perkembangan kasus penanganan suami saya?” tanya ibu Luh Ayu kepada Nyoman.
“Saya membawa berita bahagia,” kata Nyoman.
“Berita apa itu Pak?” tanya Luh Ayu tak sabar..
“Saya sudah menemukan bukti-bukti bahwa Bapak Agung tidak bersalah. Bukti-bukti itu akan segera saya laporkan ke kantor polisi. Bukti-bukti itu sangat memberatkan Pak Krodha. Saya rasa hari ini kebenaran mulai terungkap. Tunggu saja, yang bersalah pasti akan mendapat ganjarannya.” kata Nyoman.
“Terima kasih sekali, Man. Aku berjanji akan membalas jasamu ketika aku keluar dari Rutan ini.” kata ayah Luh Ayu kepada Nyoman.
Semua tampak bahagia. Ibu Luh Ayu segera membuka rantang yang ia bawa, lalu mereka berempat makan dengan penuh rasa syukur. Mereka menyambut kemenangan atas apa yang disebut dengan kebenaran.
Lu Ayu bergumam sambil membayangkan wajah Dharma yang damai, “Satyam Eva Jayate, kebenaranlah yang akan selalu menang! Jangan kau pernah ragu untuk melangkah ke depan, meraih kemenangan dengan kebaikan!”
Vanesa Martida, Siswi SMAN 5 Denpasar Bali
Pemenang Pertama LMCR 2009 untuk kategori B (Pelajar SLTA)
Cerita ini benar-benar unik. Sebab rasa-rasanya jarang sekali kita menemukan penulis yang memasukkan unsur nilai kearifan lokal pada cerpen yang ditulisnya. Apalagi untuk ukuran anak SMA. Judulnya saja sudah membuat orang penasaran. SATYAM EVA JAYATE. Semula saya mengira nama orang. tapi nggak tahunya sebuah filosofi. Kualitas bahasanya juga bagus, literer, dan mudah dimengerti. Poko’e berkualitas lah!
Message: Terobosan terbaru. Menyisipkan nilai2 filosofi dalam sebuah karya sastra. tidak salah LMCR-09 memilih cerpen ini sebagai juara pertama. ^_^
keren .. nd panjang bgt ceritanya .
ak jd suka